Rabu, 15 Februari 2012

MENGAPA SAYA MENCINTAI JUVENTUS?

SEBUAH REFLEKSI PRIBADI
- MATAHARI YANG DITERBITKAN PEMIMPIN KAMI TAK AKAN PERNAH TENGGELAM-

FINO ALLE FINE FORZA JUVENTUS
VINCI PER NOI MAGICA JUVENTUS...MENANGLAH UNTUK KAMI WAHAI JUVENTUS YANG AJAIB

        Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba membagikan curahan hati saya mengapa saya sangat bangga menjadi seorang Juventini ( Julukan yang berlaku umum bagi seorang fans Juventus). Saya juga tidak tahu mengapa saya tergerak untuk menumpahkan curahan hati saya pada tulisan ini. Sebenarnya besok saya masih ada ujian Komdit ( Komputer Audit ), tapi saya tidak konsenterasi belajar karena besok akan dilangsungkan pertandingan Akbar 2 tim tersukses di italia, AC Milan VS Juventus, dalam ajang Semifinal Leg I, Coppa Italia, di Stadion San Siro, Milano ( Kamis dinihari Pkl 02.45WIB, kalau di Italia Rabu Malam Pkl 20.45).
        Tepatnya musim kompetisi 1997/1998. Saya baru berusia 6 tahunan waktu itu. Orang-orang di rumah lama saya di Jl. Gua Lourdez, Oebobo, Kupang, NTT, adalah para maniak sepakbola. Seyogyanya anak seumuran saya pada saat itu pasti lebih senang bemain gambar atau kejar-kejaran dan sebagainya. Tapi, saya malah lebih senang bermain bola ( walau sendiri ), dan tentu saja menonton bola. Saya masih ingat pada saat itu orang tua saya sering memaksa saya untuk segera tidur karena besok akan ada pelajaran di sekolah. Sebenarnya tujuan mereka baik agar saya yagn masih kecil ini jangan kolaps di kelas nanti. Tapi, mau bagaimana dikata lagi, namanya niat sudah di kepala, ya saya tidak akan mundur begitu saya. I’m a fighter, dan saya akan terus berupaya mencapai sesuatu yang memang sangat saya inginkan.

        Pada hari Minggu malam itu, saya menyaksikan pertandingan antara Juventus FC (http://piusadryanusclaudioora.blogspot.com/2011/11/buon-compleanno-1897.html ) melawan sebuah tim yang sudah saya lupa namanya, pokoknya tim yang kurang terkenal di italia, tanpa mengurangi hormat sedikitpun pada klub itu. Orang yang pertama kali saya lihat adalah Filippo Inzaghi, seorang veteran berusia 38 tahun, yang ironisnya sekarang membela AC Milan, rival Juventus d italia. Ingatan saya masih membekas tatkala pada saat itu ada semacam benjolan di wajahnya. Mungkin dikasari pemain lawan pada pertandingan sebelumnya. Semua orang di rumah saya adalah Anti-Juve. Saya berpikir dalam hati bahwa kenapa mereka bias membenci Juventus, yang dalam pertandingan malam itu memang memainkan sepakbola yang indah. Saya sih pada saat itu masih belum menjadi seorang Juventini sehingga saya mencoba bersikap netral kenapa orang-orang ini begitu membenci Juventus. Namun, saat peluit akhir berbunyi, saya yakin bahwa saya telah menemukan jodoh saya, saya yakin bahwa Juventus adalah klub yang tepat untuk saya bela sampai mati.
        Waktu terus bergulir dan kecintaan saya kepada Juventus makin bertambah dan bertambah. Ada suatu hal yang unik di kompleks kami pada saat itu, masa akhir 90-an. Anak-anak seusia saya hampir semuanya adalah Juventini. Milanisti hanya beberapa orang, Interisti juga tidak terlalu banyak. Yang mengejutkan adalah Laziale yang ikut “meramaikan” kompleks saya pada saat itu. Pada saat itu, Lega Calcio ( Liga Italia ) adalah liga terbaik di dunia dan ditayangkan hampir di seluruh penjuru dunia sehingga hanya Liga Italia lah yang terkenal saat itu. Liga BBVA-nya Spanyol dan BPL-nya Inggris belum setenar Liga Italia dulu. Kakak kandung saya Ion, http://www.facebook.com/dion.ora?ref=ffl, dan sepupu kandung saya, Advent http://www.facebook.com/nappuzz.ora?ref=ts , adalah Bianconero-Bianconero sejati, sama seperti saya. Ditambah dengan abang-abang saya  Aye, http://www.facebook.com/profile.php?id=100000472776588&ref=ts, ka Jim, http://www.facebook.com/profile.php?id=1803100063&ref=ts, dan teman dekat saya http://www.facebook.com/profile.php?id=100000198953407&ref=ts, kami adalah Bianconero sejati di kompleks Jl. Bajawa Kupang.
Berbanding terbalik, orang-orang dewasa dan orangtua malah Anti-Juve. Ayah saya adalah seorang Anti-Juve kelas berat, Ibus saya netral, kakak perempuan saya seorang Laziale, http://www.facebook.com/yudhistira.ora?ref=ffl, dan satunya lagi Milanisti http://www.facebook.com/profile.php?id=684638500&ref=ffl . Kata mereka Juve sering dibantu wasit, sering pura-pura diving di kotak penalty untuk mendapatkan tendangan penalty atau “rigori” dalam bahasa Italia. Tapi yang benar saja, mereka lupa bahwa pemain Juve adalah penyumbang terbesar dalam timnas Negara mereka masing-masing. Mereka tersebar di seluruh timnas di benua biru, dari Italia, Perancis, dll. Ibarat kata, menjadi pemain Juve berarti  Anda telah menyiapkan satu tempat  di timnas negara Anda. Memang dulu saya belum mengerti sepakbola, namun anak kecil seperti saya saja sudah bisa merasakan itu.
        Dan siapa pemain idola saya? ALESSANDRO DEL PIERO (sekarang 37 tahun) lah orangnya. Musim 1997/1998, Juventus mendapatkan titelnya yang ke-25. Pada waktu itu dan sampai sekarang, hanya Juve yang berhak menaruh 2 Bintang kehormatan di jersey mereka sebagai pertanda Juve telah berhasil mendapatkan scudetto sama dengan atau lebih banyak dari 20 titel ( di Italia, 1 bintang untuk 10 titel). Alessandro Del Piero adalah sosok pemain yang paling mempengaruhi sisi “ideologi’ saya dalam mencintai olahraga ini. Dia adalah pemain yang disegani kawan dan lawan, pemain yang acapkali tersenyum sambil membungkukkan badan ketika dipuji, pemain berkelas dunia yang memiliki sikap yang patut dicontoh, di dalam maupun di luar lapangan. Dia tidak pernah dugem atau mabuk-mabukkan, apalagi main perempuan, seperti halnya Ronaldinho Gaucho atau Ronaldo Nazario Da Lima, yang justru hancur di puncak karier mereka. Pria ini sangat setia akan keluarganya, setia akan Jersey dan Bendera Hitam-Putih. Hal ini kemudian mempengaruhi sikap saya kalau dalam hidup ini saya harus menjadi seorang yang setia, entah dengan teman, kekasih, klub pujaan, dsb, serta melakukan segala sesuatu pekerjaan dengan cinta. Tapi naas, pada musim 1998/1999, pada hari kelabu 8 November 1998, ia mengalami cedera parah pada saat pertandingan melawan Udinese di Friuli, yang menyebabkan kakinya patah dan harus rehat sementara dari sepakbola selama 1,5 tahun. Waktu itu say masih ingat Juventus memakai Jersey tandang berwarna biru, dan melihat Del Piero menangis patah kaki adalah kesedihan saya selama akhir tahun 1998 itu. Bagaimana tidak saya sangat mengaguminya dan bahkan saat menulis curahan hati saya ini pun saya hemdak menitikkan air mata. Sekarang Del Piero tak lagi menjadi pilihan utama starting eleven La Zebre, namun dia akan selalu menjadi cinta abadi untuk seluruh Juventini yang pernah mengenalnya, sosok ”IL CAPITANO”  atau “IL PRINCIPE” ini akan selalu menjadi penghias hati dan air mata saya. Coba seandainya dia tidak mengalami patah kaki, pasti kondisi fisiknya tidak akan mengalami penurunan, hal yang mana dia sendiri mengakui dan menyesalinya.
        Namun, kebesaran seorang pemain tak akan pernah mengalahkan kebesaran klub yang dia bela. Del Piero sendiri menyadari hal itu. Baginya Juventus adalah yang utama dan ini membuat saya makin cinta dan membara dalam mendukung Juventus. Musim 1998/1999 tak berjalan semestinya dan Juventus sang juara bertahan secara menyedihkan pun terlempar ke posisi 7 klasemen. AC Milan saat itu secara mengejutkan menyalip Lazio dan menjadi juara. Sang Allenatore, Marcello Lippi dipecat, dan kemudian digantikan Carlo Ancelotti, yang kemudian malah mereguk kesuksesan bersama AC Milan dalam karir kepelatihannya. Musim 1999/2000 dan 2000/2001, Juventus hanya menjadi Runner-Up, berturut-turut dilangkahi oleh 2 tim dari Capitale, Lazio dan AS Roma. Musim 1999/2000 adalah satu musim yang sangat indah pada awalnya, memimpin sendirian di Capolista, namun dibalap oleh Lazio yang pada akhirnya menjadi Campioni pada tahun itu. Musim 2000/2001 agak memilukan karena Juve tak kuasa menahan kedigdayaan AS Roma yang memimpin sendirian perburuan Scudetto sampai akhir musim dan menjadi juara pada akhirnya. Sunggu memilukan melihat mereka dengan lagaknya ditonton juataan pemirsa sambil mengangkat Piala. Namun saya harus legowo karena pada saat itu adalah masa keemasan mereka, dilatih oleh salah satu Legenda Juve, Fabio Capello, dengan duet maut Totti dan Batistuta, sungguh sulit membendung mereka saat itu.
        Musim 2001/2002 adalah tahun penuh kegembiraan. Saya masih ingat pada saat itu majalah BOLA pertama kali yang saya beli mengupas tentang transfer musim panas di Liga Italia. Ada satu artikel yang berjudul “ Saat Angin berhembus ke Utara”, di mana pada saat itu tim-tim dari Italia utara membenahi pasukannya habis-habisan untuk mengalahkan 2 tim dari Capitale, AS Roma dan Lazio yang mendominasi 2 seri terakhir kejuaraan. Juve adalah salah satunya. Kursi Allenatore kembali beralih ke Marcello Lippi. David Trezeguet memasuki musim keduanya di Juve, Gianluca Zambrotta datang dari Bari memperkuat sisi kanan pertahanan Juve. Pavel Nedved “Furia Ceca, L’Amore Ceca” juga didatangkan dari Lazio dan menanmbah daya gedor Juve. Pada musim ini Inter Milan lumayan mendominasi kompetisi, namun mereka akhirnya tergelicir pada partai terkahir. Mereka dilibas Lazio dengan skor 4-2 di Olimpico Roma, ( video bisa dilihat disini http://www.youtube.com/watch?v=ZxTG31Q9PO8 ), sedangka La Grande Juve mengalahkan Udinese 0-2 di Friuli, Udine. Pada malam itu, semua mata tertuju pada duel di kota Roma antara Lazio VS Inter. Inter selalu unggul duluan, sebelum disudahi dengan skor 4-2 oleh oleh Lazio. Saya bukan seorang fans Lazio, namun saya patut mengucapkan terima kasih atas kemenangan itu. Di saat yang bersamaan, Juve menyudahi perlawanan Udinese di kandang lawan hanya dalam tempo 15 menit babak pertama. 2 gol persembahan Trezeguet dan Del Piero, serta kekalah Inter akhirnya menjadikan Juventus sebagai Raja Italia. Return of The King, La Juve La Juve La Juve… feste siamo noi feste siamo noi.. siamo tornati, siamo campioni… pada musim itu memang duet Del Piero – Trezeguet sangat ditakuti di Serie A dan Eropa. 5 mei 2002 adalah hari yang tak pernah terlupakan untuk semua fans sejati Juve, hari di mana mereka mengkudeta Inter di saat pekan terakhir dan berhak merebut scudetto ke-26.
        Musim 2002/2003 adalah tahun keemasan Juventus. Pada tahun ini saya sudah kelas 6 SD. Tahun ini Juve mendominasi kejuaraan dan dengan mudah memastikan diri merebut titel ke-27 beberapa pekan sebelum Liga berakhir, mengingat point yang tak mungkin lagi dikejar oleh tim-tim di bawahnya. Musim ini adalah Liga Champions terbaik yang pernah saya tonton. Juventus mencukur Real Madrid di Semifinal dengan agregat 5-4 dan berhak merebut 1 tiket ke Final Liga Champions 2003. Ingat, pada saat itu Real Madrid adalah tim tersukses 6 tahun terakhir, merebut 3 gelar Liga Champions dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Di Santiago Bernabeu pada leg I, Juve kalah 2-1. Cerita berbalik ketika Delle Alpi menjadi venue semifinal Leg II. Seluruh Juventini dari Drughi, Viking, Nucleo, tradizione Bianconero seakan-akan membuat para pemain Madrid seakan berada di neraka. Stadion begitu ramai dengan teriakan dan cori-cori Juventus. Ya Tuhan, semoga suatu hari saya bisa menyaksikan Pertandingan Juve secara langsung, kenangku pada saat itu. Juventus berhasil mengunci kemenangan 3-1 di depan publik Delle Alpi lewat gol Trezeguet, Alex Del Piero, dan great gol from Pavel Nedved. Saying, Nedved melakukan sebuah tekel yang tak seharusnya dia lakukan sehingga dia mendapat kartu kuning yang membuat dia terkena akumulasi kartu kuning yang berimbas pada larangan tampil di Final Liga Champions pada saat itu. Melihat Nedved menangis sambil memeluk Trezeguet pada saat akhir pertandingan membuat saya ingin ikut menangis. Tapi tak apalah yang penting Juve masuk final.
        Sampai di sekolah, saya bersama beberapa teman saya yang sealiran Hitam-Putih mulai berisik dan mengolok-olok rival kami. Biasalah anak kecil, kadang lucu juga mengingat kembali saat-saat itu. Berisik sampai pulang sekolah seakan sekolah milik Presdien Juve hehehe…
Sayang, di Final AC Milan berhasil mengalahkan Juventus lewat babak Adu Penalti. Sampai tahun 2003, ada 2 hal yang membuat saya menangis:
1.    Saat Italia kalah di Final Piala Eropa 2000 (lawan perancis 2-1)
2.    Saat Juve kalah di Final Liga Champions lawan Milan ini
Sakitnya lebih menyengat daripada dipukul guru si kelas. Saya sampai tidak mau masuk sekolah karena kesedihan yang mendalam. Itulah mengapa saya merasa cinta saya kepada bendera ini sangat besar, segala sesuatu yang berbau hitam putih pasti sangat sensitive di hati dan kepala saya.
        Musim 2003/2004, 2004/2005, 2005/2006. 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, selama 6 musim ini saya tak banyak menonton Liga Italia karena saya bersekolah di Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, Ngada, Flores, NTT. Di sini saya masuk asrama sehingga sangat jarang saya bisa menonton bola karena aturan-aturan asrama yang sangat ketat. Yang saya tahu akhir musim 2004, Milan merajai Italia, 2 musim berikutnya giliran Juventus yang menguasai Italia, namun gara-gara kasus calciopoli, Juve harus degradasi ke Serie-B dan 2 gelar juara tersebut harus dihapus, bahkan titel 2005/2006 diberikan kepada Inter, sehingga mulailah babak baru Il Ladro menguasai Italia, Iler di Merda.
        Dan anda tahu apakah matahari dan cinta di hati saya berkurang karena Juve degradasi ke Serie B? Anda salah besar kalau memikirkan seperti itu. Justru terbalik 180%. Saya dan seluruh Juventini di seluruh Indonesia, dan seluruh dunia malah makin mencintai klub ini, seolah-olah sakit yang mereka rasakan juga kami rasakan, apa yang mereka pikul juga kami pikul. Tak ada perasaan mengutuk, tak ada perasaan benci terhadap para pemain, justru sebaliknya membuat kami makin kuat dan tegar, sampai-sampai lahirlah Juventus Club Indonesia sebagai wadah resmi Komunitas Suporter Juventus yang langsung diakui oleh pihak Juventus sendiri dari Italia sana. Kalau dipikir-pikir, tanpa bantuan wasit pun Juve layak menjadi juara Serie A. Anda tahu kenapa? Karena Berlin adalah saksi di mana 8 orang pemain Juve bermain di Final Piala Dunia 2006 antara Italia ( Buffon, Alessandro Del Piero, Mauro Camoranesi, Fabio Cannavaro, dan Gianluca Zambrotta, belum termasuk Vincenzo Iaquinta yang tidk bermain di Final) VS Perancis ( Lillian Thuram, David Trezeguet, dan Patrick Viera ), dan masih banyak lain pemai Juve yang menjadi tulang punggung utama timnas negaranya masing-masing. Paham saudara-saudara?
        Saya sendiri tak mau terlalu lama membahas masalah calciopoli, ada begitu banyak literatur dan referensi yang bertebaran di Internet, carilah, pahami, dan dapatlah kebenaran. Sungguh perasaan gelar dirampas itu seperti orang menusuk pisau di lambung anda tanpa anda bisa melawan. Tapi badai telah berlalu, Juve selalu di hati.
        Musim 2009/2010 dan 2010/2011 adalah masa-masa sulit. 2 musim berturut-turut Juve berada di peringkat 7 klasemen. Tak jarang bis pemain dilempari telur busuk dan pemain serta manajemen kayaknya telah mendapatkan diri mereka sendiri di titik nadir. Gagal di Liga Champions setelah dipecundangi Bayern Muenchen 1-4 di Olimpico Turin. Musim 2010/2011, Juve ditangani oleh Gigi Del Neri yang pada musim sebelumnya sukses membawa sampdoria bercokol di peringkat 4 klasifika Serie A. Tapi, Gigi Del Neri gagal membangkitkan mental dan psikis para pemain juara ini yang telah lama tertidur. Gigi Del Neri boleh saja sukses bersama tim semenjana, namun untuk melatih tim sekelas Juve, dia belum bisa berbuat Banyak. Tapi sebelumnya, terima kasih untuk Opa Del Neri, Sukses Selalu di masa mendatang.
        Musim 2011/2012 adalah titik kembalinya Juve menjadi pesaing Scudetto, tak sama seperti 2 tahun sebelumnya yang penuh air mata. Antonio Conte, mantan pemain Juve, mantan Capitano Juve, dialah yang datang dan membawa kembali mental juara di dalam dada para pemain juara ini. Memang kalau dipikir-pikir, orang yang paling tepat menangani Juve adala orang yang tahu seluk-beluk Juve luar dalam, orang yang tahu makna memakai kostum suci ini, oraang yang seluruh karir sepakbolanya diabdikan buat kostum ini, orang yang merawat dan memakai kostum ini seperti kulitnya sendiri. Sejauh ini, La Grande Juve masih menjadi tim yang tak terkalahkan di seluruh Italia dan Eropa, masih bersaing dengan AC Milan dalam perburuan Scudetto. Saya Cuma berharap Juve akhirnya bisa meraih Scudetto yang ke-30, walaupun sampai sekarang yang diakui hanya 27 titel. Bagi saya, Calciopoli adalah trik buat meruntuhkan dominasi La Grande Juve, dan orang yang berada di balik semuanya adalah sampah dan Ladro atau Pencuri.
RYANO JUVENTINI SAMPAI MATI!!!

2 komentar:

  1. Heyy mate, I am amazed to read your posts.
    We are family, We are Unity, We are Everywhere and We have a same Big Big Love. Big Love for Our beloved Lady.
    And Like our Bandiera 'Alessandro Del Piero' said that : 'kita adalah JUVENTUS yang sesungguhnya' :)))
    Berteriaklah dan bernyanyilah untuk JUVENTUS. Tunjukan dukungan dari Hati untuk Juventus, karena sejauh apapun jarak kita dengan Turin Italia maka dukungan dan nyanyian chants dari hati yang akan menyatukan kita. :')

    Fino Alla Morte Forza Juventus.

    BalasHapus
  2. yupss bro thanks bwt komennya.
    Juve mempersatukan kita.

    BalasHapus