Coret2an ini terdiri atas 4 bagian: 1.) Pendahuluan 2.) Seputar Flores 3.) Penutup 4.) Zona Foto Buat yang Haus..
Semoga bisa menjadi bahan referensi anda2 skalian yang ingin mengenal lebih dalam tentang Flores dengan keanekaragaman budaya masyarakatnya.
Mata sudah ngantuk, sejak semalam belum tidur.
Wassalammmmm Pamit tidur dulu
Selamat malam dan tetap Forza
Sementara Ayam Bakar Ende Flores juga masih termasuk masakan khas Ende, Flores. Proses pembuatannya sama dengan Ayam Bumbu Rendatapa tapi kemudian ayam dibakar. Jadi Ayam Bakar Ende Flores adalah Ayam Bumbu Rendatapa yang dibakar.
PENUTUP
Semoga bisa menjadi bahan referensi anda2 skalian yang ingin mengenal lebih dalam tentang Flores dengan keanekaragaman budaya masyarakatnya.
Mata sudah ngantuk, sejak semalam belum tidur.
Wassalammmmm Pamit tidur dulu
Selamat malam dan tetap Forza
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terbentuk pada tahun 1958. Sebelumnya,
Provinsi NTT merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara yang wilayahnya
mencakup Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan NTT. Pembentukkan provinsi ini
berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958.Nenek moyang penghuni NTT beraneka ragam. Beberapa ahli
memperkirakan bahwa nenek moyang orang NTT berasal dari ras Astromelanesoid.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan kerangka manusia yang diperkirakan berasal
dari ras terebut dan berusia sekitar 3.500 tahun. Beberapa kerangka lain yang
ditemukan memiliki ciri-ciri ras yang beraneka ragam, seperti dari ras
Mongoloid, campuran antara Mongoloid dan Astromelanesoid, Eropoid, dan Negroid.
Hal ini menunjukkan keanekaragaman penghuni pertama NTT.
Pada masa pra sejarah, penduduk hidup
berpindah-pindah karena menggantungkan hidupnya pada perburuan binatang. Mereka
berpindah mengikuti arah gerak binatang-binatang buruannya. Ketika bercocok
tanam mulai menjadi cara hidup penduduk, mereka tidak sepenuhnya menetap.
Kadang-kadang mereka berpindah-pindah yang biasanya disebabkan oleh kedatangan
penduduk baru yang lebih kuat. Yang tersingkir biasanya pindah ke daerah
pedalaman.
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores
termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama
Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk
daerah yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian
yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki
potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang
tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap
akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata
disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh
wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air
Terjun Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air
Panas Liasembe dan sebagainya. Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat
kurang.
Budaya Flores yang beraneka ragam
juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian,
lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan
Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara
adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila
potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan
meningkatkan perekonomian Flores di masa depan.
SEPUTAR FLORES
Flores, land of my fathers' |
I. KEBUDAYAAN
FLORES
A.
IDENTIFIKASI FLORES
SEJARAH FLORES
Nama Pulau Flores mulanya
berasal dari bahasa Portugis “Cabo de
Flores” yang berarti “Tanjung
Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut
wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi
sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama
Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini
sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan
bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam
komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis
menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi
yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b).
Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa,
filsafat dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores
dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan
dengan Timor, yang pernah
menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama,
dan Budaya.
B. Wilayah Geografis
Pulau Flores adalah salah satu pulau
dari deret kelompok-kelompok kepulauan yang merupakan wilayah dari Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Daerah itu terdiri dari kepulauan Flores, Sumba, kelompok
kepulauan Timor dan dari kepulauan Tanimbar. Kelompok kepulauan Flores terdiri
dari pulau induk ialah pulau Flores yang dikelilingi oleh pulau Komodo, Rinca,
Ende, Solor, Adonara, dan Lomblem. Daerah Pulau Flores meliputi delapan kabupaten,
yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende,
Sikka, dan Flores Timur.
Flores termasuk dalam
gugusan Kepulauan
Sunda Kecil bersama Bali
dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Pulau Flores bersama Pulau
Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi
NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau.
Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di
sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di
sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil
itu ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan
pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor.Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara,
di seberang Laut Flores ada Sulawesi. Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi.
C.
Penduduk dan Lingkungan Masyarakat
Sejarah kependudukan masyarakat Flores
menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup
dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing
etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan
ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum,
1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku,
bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Penduduk Flores terdiri dari delapan sub suku bangsa dan di
antara mereka yang mempunyai logat-logat bahasa yang berbeda. Sub-suku bangsa
itu antara lain :
1. Orang Manggarai
2. Orang Riung
3. Orang Ngada
4. Orang Nage-Keo
5. Orang Ende
6. Orang Lio
7. Orang Sikka
8. Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan sub-suku bangsa
Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio, dan Sikka tidaklah begitu besar. Namun
perbedaan antara kebudayaan tersebut dengan orang Manggarai sangatlah besar.
Juga dipandang dari ciri-ciri fisiknya ada suatu perbedaan yang amat
mengesankan. Penduduk orang Flores mulai dari orang Riung makin ke timur makin
menunjukkan lebih banyak ciri-ciri Melanesia, seperti penduduk Irian, sedangkan
orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun
sub-suku bangsa Larantuka berbeda dari yang lain, karena mereka lebih tercampur
dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku bangsa
Indonesia yang datang dan bercampur di kota Larantuka. Adapun mengenai
kebudayaan Flores ini, data-datanya kebanyakan diambil dari kebudayaan orang
Manggarai.
D. Pola
Perkampungan
Riwayat Perkampungan Tradisional
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan
kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua
Ethnis ini membangun rumah dan perkampungan adat telah menggunakan teknologi
dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan
karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh
sebelum peradapan modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang
dari dua ethnis dalam suatu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka
memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya
sebuah perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal
ini menjadi bahan penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan
bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti KEDA,
KANGA, TUBU MUSU merupakan warisan leluhur, walaupun di beberapa tempat sudah
mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam,
perjalanan waktu, dan ulah manusia, namun demikian tetap mempunyai nilai
sejarah dan daya tarik bagi wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab
untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai
kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali
kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan
beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya.
Beberapa tempat yang memeiliki tradisi tersebut adalah kampung–kampung tradisional
yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti, Ranggase, Moni, Tenda,
Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga,
Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Puu’tuga, dll.
Desa-desa di Flores (Beo di Manggarai)
dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan pertahanan. Pola
perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan suatu lingkungan dengan
tiga bagian, yaitu depan,tengah,belakang. Walaupun pada masa sekarang susunan
kuno itu sering sudah tak diperhatikan lagi, namun sisa-sisanya masih tampak
pada desa-desa flores zaman sekarang juga.
Di Manggarai misalnya masih ada
sebutan khusus untuk bagian depan dari desa ialah pa’ang, bagian tengah ialah beo(dalam arti khusus) dan bagian
belakang adalah ngaung. Dulu di tiap
bagian rumah ada tempat-tempat keramat, yang berupa timbunan batu-batu besar dan yang dianggap tempat roh-roh
penjaga desa dapat turun. Pada masa sekarang, biasanya masih ada paling sedikit satu tempat keramat
serupa itu di tengah-tengah lapangan tengah dari desa. Tempat keramat itu
biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida
bertangga dengan beberapa batu pipih tersusun seperti meja di puncaknya.
Seluruh timbunan itu yang disebut kota,
dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu itu
biasanya ada bangunan balai desa yang juga bersifat keramat dan yang disebut mbaru gendang, karena di dalamnya
disimpan sebuah genderang yang keramat.
Desa-desa kuno dari orang Ngada,
biasanya juga mempunyai lapangan pusat dengan di tengah-tengahnya timbunan
batu-batu berupa suatu panggung dari batu yang disebut terse. Di atas panggung itu ada beberapa batu pipih yang juga
disusun seperti meja atau seperti sandaran (watu lewa ). Di bagian depan dari
desa-desa Ngada, sering kali ada tiang pemujaan nenek moyang dari batu (ngadhu) sedangkan di hadapan tiang batu
itu biasanya ada sebuah rumah pemujaan kecil (bhaga).
Desa-desa di Flores zaman dahulu
selalu dikelilingi dengan sebuah pagar dari bambu yang tingginya dua sampai
tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi lagi secara padat dengan
tumbuh-tumbuhan belukar yang berduri. Pada masa sekarang sudah banyak yang
desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki bukit. Sifatnya lebih
terbuka, pagar sering tidak ada lagi, sedangkan pola perkampungan berbentuk
lingkaran-lingkaran di banyak tempat juga sudah ditinggalkan.
E. Perekonomi dan Mata Pencaharian
Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di
provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata Indonesia, dengan tingginya inflasi (15%), pengangguran (30%) dan tingkat suku bunga (22-24%).
Mata pencaharian hidup yang utama dari
orang Flores adalah bercocok tanam di ladang. Para warga laki-laki dari
sejumlah keluarga luas biasanya bekerjasama dalam hal membuka ladang di dalam
hutan. Aktifitas itu terdiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah,
menebang pohon dan membakar daun-daun, batang-batang, dan cabang-cabang yang
telah dipotong dan ditebang. Kemudian bagian hutan yang dibuka dengan cara
tersebut dibagi antara beberapa keluarga luas yang telah bersama-sama membuka
hutan tadi. Selanjutnya sisa-sisa batang-batang pohon yang tidak terbakar atau
yang hanya setengah terbakar, diseret dan disusun agar menjadi pembatas antar
ladang yang satu dengan ladang yang lain. Dari atas sekelompok ladang-ladang
itu akan terlihat seperti sarang laba-laba. Tanaman pokok yang biasanya ditanam
di ladang tersebut adalah jagung dan padi.
Diberbagai tempat di Flores atas
anjuran pemerintah, penduduk juga sudah mulai bercocok tanam dengan bantuan
irigasi di sawah-sawah. Di daerah ngada
misalnya, bercocok tanam di sawah sudah dimulai selama lebih dari 30 tahun yang
lalu. Walaupun demikian bercocok tanam di ladang masih banyak dilakukan di
Flores.
Kecuali bercocok tanam di ladang,
beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian yang penting di Flores pada
umumnya. Binatang yang terpenting adalah kerbau. Binaang ini sebenarnya tidak
dipelihara untuk tujuan ekonomis, melainkan untuk misalnya membayar mas kawin,
untuk disembelih dan dikonsumsi pada saat acara-acara tertentu, misalnya pada
saat upacara adat, dan yang tak kalah penting yaitu untuk lambing kekayaan
serta gengsi.
Binatang piaraan lain yang tak kalah
penting adalah kuda. Kuda ini diternakkan guna dipakai untuk dimanfaatkan
tenaganya untuk memuat barang-barang. Disamping itu kuda juga sering dipakai
sebagai harta mas kawin.
Kerbau dan kuda biasanya dimasukkan di
kandang umum milik desa, dan digembala di padang-padang rumput yang juga milik
umum (milik desa). Adapun biasanya kuda-kuda itu dibiarkan berkeliaran di
padang rumput sepanjang hari, siang dan malam, hanya kalau sedang dibutuhkan
maka ditangkaplah salah satu, kemudian setelah selesai digunakan, maka akan
dilepaskan kembali.
Untuk pemeliharaan babi, kambing,
domba, atau ayam, dilakukan di pekarangan rumah dan di manggarai dan pada malam hari binatang-binatang piaraan itu
dimasukkan dikolong-kolong rumah.
F. Sistem Kekerabatan
Klen (Clan) sering juga disebut
kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan
(genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi).
Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang
sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada Masyarakat Flores menganut
klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam
antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.
Kelompok
kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif
sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di
ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada
suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali
Sejumlah
kilo biasanya merasakan diri terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari
seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi ke atas. Suatu klen
kecil atau minimal lineage memiliki
beberapa nama lain, diManggarai disebut panga
dan di Ngada disebut ilibhou.
Warga suatu
panga atau ilibou tidak selau terikat
oleh hubungan kekerabatan yang nyata. Hal itu karena sering sekali ada
panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang menjadi kecil, akibat kematian, manggabungkan
diri dengan panga atau ilibhou yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu
merupakan kesatuan dalam hal melakukan upacara-upacara berkabung atau upacara
pembakaran mayat nenek moyang, atau upacara mendirikan batu tiang penghormatan
roh nenek moyang. Sekarang kesatuan kekerabatan itu hampir tidak berfungsi
lagi, kecuali sebagai pemberi nama kepada warga-warganya.
Panga dan
ilibhou menjadi bagian dari klen-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di Ngada. Dulu wa’u an woe
membanggakan diri akan adanya suatu complex unsur-unsur adat istiadat dan
sistem upacara yang khas, yang saling pantang bagi yang lain, sedangkan banyak
diantara wa’u-wa’u atau woe-woe yang terkenal ada yang memiliki lambang
binatang atau totem yang mereka junjung tinggi. Sekarang sebagian besar dari
unsur-unsur adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang totem yang
khusus itu sudah hilang atau dilupakan
Masyarakat Ngada
terdiri dari empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai
tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo,
(2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri
kekerabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga
kekerabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk
keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu
(satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha).
Ikatan nama
membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari
kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah.
Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan
seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Suku Ngadha
mengenal beberapa kelompok kekerabatan dari yang terkecil berupa keluarga inti
sampai pada kelompok klen besar. Pembagian kelas pada struktur masyarakatnya
hampir sama sebagaimana masyarakat lain di tanah air. Penggolongan suku Ngadha
berdasarkan keluarga batih ( primary family ) yang terdiri dari ayah,ibu,
anak-anak yang belum menikah disebut dengan sa"o.
Beberapa
keluarga inti membentuk keluarga gabungan yang disebut sippopali. Sippopali (kesatuan
keluarga) terdiri dari satu rumah pokok (sao puu) dan didampingi oleh rumah
cabang (sao dhoro) yang berasal dari rumah pokok. Dikarenakan keterkaitan
dengan sistem kekerabatan patrilineal, beberapa sippopali membentuk klen kecil
(illibhou) dari klen besar yang dipimpin oleh seorang pemimpin dengan status
ulu woe.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari
keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian
diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk
ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat
dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Pada masyarakat manggarai, pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak,
mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen
kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan Manggarai antara
lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona
(turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang
(saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari
bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak
dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara
lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
G.
Sistem
Kemasyarakatan
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa
di flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari
tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang
dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga
lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada
orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae
meze, lapisan orang gae kisa dan
juga lapisan orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah
lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub
lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang
dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah
menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian
warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu
atau glaring-glarang, pada orang
Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa adalah
lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai
petani, tukang-tukang atau pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga
yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang
sekarang tentu sudah tidak ada lagi, adalah dulu
- orang-orang yang ditangkap dalam peperanagn, baik dari sub suku bangsa sendiri, maupun dari suku bangsa lain atau pulau lain
- kecuali itu orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar lagi hutang mereka
- dan akhirnya orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.
Secara lahir perbedaan antara gaya
hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan
santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para bangsawan pun
mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.
Pada masa sekarang pendidikan sekolah
telah menyebabakan timbulnya suatu lapisan sosial baru, yang terdiri dari
orang-orang pegawai, guru, atau pendeta, sedangkan akhir-akhir ini ada pula
beberapa putra flores dengan pendidikan universitas yang tergolong lapisan
sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat
nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah.
H.
Sistem Religi
Keyakinan (religi) terhadap
'Yang Maha Tinggi' merupakan unsur maha penting dalam berbagai kehidupan
sehari-hari. Mulai dari bercocok tanam (berladang) hingga perkawinan.
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah
dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba
pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris
Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da
Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota
Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores
(Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk
Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka.
Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai
dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh
daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di
daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk
agama Katolik.
Meskipun kristianitas sudah dikenal
sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki
pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di
berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai
oleh unsur-unsur kultural yaitu pola
tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui
para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini
diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai
di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara
Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat
gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang
Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa
orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi.
Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman
hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi
(tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang
Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO
|
KABUPATEN
|
WUJUD
TERTINGGI
|
MAKNA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa
ema eta
|
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan
Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit di atas
|
Selain itu, hampir semua etnis
masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan
altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam
ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.
Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO
|
KABUPATEN
|
NAMA
TEMPAT
|
KETERANGAN
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Nuba Nara [1]
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva - Vatu Meze
Compang – Lodok
|
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir
|
Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di
atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara
ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah,
perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi
penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial.
Ritual persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan
proses sosial di Flores.
Sedangkan di masyarakat Ngada,
ditemukan beberapa menhir. Fungsi menhir ini sebagai petunjuk kubur dan pada
batu tersebut diabadikan nama – nama mereka yang menunjukkan sekumpulan menhir
yang berasosiasi dengan dolmen. Di samping itu fungsi menhir juga digunakan
sebagai tanda jumlah musuh yang terbunuh dalam peperangan. Keberadaan
bangunan-bangunan pemujaan sangatlah terkait dengan kehidupan religi dan
kepercayaan masyarakat Ngada walaupun pada umumnya masyarakat Ngada pada waktu
sekarang sebagian besar memeluk agama Katolik. Dengan masuknya ajaran Katolik
yang membawa pengaruh pada kehidupan religi mereka, terjadilah akulturasi
budaya tanpa meninggalkan dogmatis ajaran Katolik. Kepercayaan terhadap gunung
sebagai tempat suci dimana bersemayam arwah nenek moyang, direfleksikan dengan
adanya bangunan berundak, tetapi pada saat ini adanya akulturasi budaya yang
tercermin dari arah hadap tanda salib pada kubur orang katolik yang
memperlihatkan kearah gunung.
I.
Produk Budaya
a). Rumah Adat
Rumah tradisional Flores telah lama menjadi perhatian para peneliti dari
luar Indonesia. Menurut para ahli itu rumah tradisional dikategorikan dalam boat communities karena adanya
kemiripan dengan bentuk tertentu dari bagian perahu, seperti beberapa rumah
tradisional Flores di Lio Moni,Ende dan Manggarai.
Rumah tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari
alang-alang merupakan pusat kegiatan masyarakat tradisional. Mulai dari tidur
sampai memasak dilakukan di dalam rumah. Hal tersebut disimbolkan dalam bentuk
tiang rumah yang disebut dengan ni ainaf atau tiang feminin. Tiang lainnya
disebut hau monef atau tiang maskulin.
Rumah tradisional ini dilengkapi dengan tempat persembahan yang disebut
dengan hau monef. Rumah tradisional ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di
Alor disebut tofa dan di Ende disebut dengan saoria. Biasanya hanya keluarga
inti yang menempati rumah tradisonal ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa rumah
tradisional yang terdapat di Lio Moni, daerah dataran tinggi yang jauh letaknya
dari laut, serta tidak mempunyai sejarah maupun legenda yang menunjukkan
hubungan dengan laut atau perahu, hanya mempunyai kemiripan dengan perahu dalam
hal bentuk saja. Hal tersebut terjadi bukan karena adanya hubungan dengan
budaya laut. Sedangkan pada rumah tradisional di daerah pesisir, ditemukan adanya
legenda tentang nenek moyang mereka yang memang dahulu adalah pelaut.
Pada masyarakat demikian memang ada pencitraan perahu, misalnya yang nampak
pada bentuk dan penamaan bagian-bagian tertentu rumah, penyebutan tokoh pemuka
kampung yang diambil dari sebutan yang dikenal di perahu, keletakan serta
orientasi kampung yang meniru perahu.
Konsep rumah adat orang Flotim di Flores Timur selalu dianggap sebagai
pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera
Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
Rumah tradisional di Ngada disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di
Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat
ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya
Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo,
Sao Lia Roda. Tampak gambar rumah adat masyarakat Ngada yang disebut Sa’o.
b). Pakaian Adat
Pakaian tradisionil di daerah flores
mengenal 2 (dua) jenis pakaian yaitu pakaian yang dikenakan kaum laki dan
wanita. Pada masyarakat Lama Holot pakaian wanita disebut Kwatek dan pria
disebut Howing. Pakaian wanita di Manggarai, mengenakan mahkota dengan berbagai
bentuk. Sedangkan kaum prianya mengenakan destar.
c). Senjata
Tradisional
Ciri khas senjata tradisional
masyarakat Flores disebut Subdu atau Sudu, profilnya seperti keris sebagai
senjata tikam yang dianggap keramat.
Senjata
tradisional dari Adonara, sebuah pulau kecil di timur Flores, yang sarat dengan
cerita tentang pembunuhan atas nama harga diri dan kemanusiaan. Senjata ini
memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan senjata dari zona lain,
ukurannya yang teramat panjang, juga gagangnya yang terbuat kshusus dari tanduk
kambing menjadikan senjata ini lebih garang dan bernuansakan aroma mistik.
Zaman dahulu bahkan sampai kini, senjata inilah yang menjadikan pulau kecil ini
sesangar namanya adonara, yang kadang diplesetkan menjadi Adu darah.
d). Peninggalan Megalitikum
Di Kabupaten Manggarai, sisa-sisa
tradisi megalitik ataupun monumen megalit yang tidak berfungsi lagi, juga
dijumpai hampir di setiap desa. Salah satu diantaranya adalah monumen megalit
yang berbentuk susunan batu temu-gelang (circle) yang berfungsi sebagai kubur
para tetua, pemuka adat dan tempat melaksanakan berbagai upacara. Menurut
tradisi setempat, monumen yang terletak dua kilometer di sebelah Kota Ruteng,
disebut compang. Rumah-rumah di atas tiang, didirikan di sekeliling monumen
tersebut.
Di desa Warloka, desa paling barat
Manggarai, ditemukan pula sejumlah besar monumen Megalit, baik yang masih
in-situ (asli) maupun yang sudah terganggu (disturbed). Pada umumnya yang
berbentuk menhir dan dolmen yang berasosiasi dengan benda gerabah atau keramik
(utuh dan pecah), benda-benda gerabah (gelang, cincin, kelad lengan, bandul,
cermin, bandul kalung dan sebagainya). Pada umumnya tingkat kesukaran
situs-situs upacara/pemujaan di Warloka ini sangat tinggi.
Peninggalan dan sisa-sisa tradisional
megalitik di Flores juga ditemukan di Ende-Lio, Sikka dan Flores Timur.
e). Tarian Masyarakat Flores 1.
Tarian Leke, asalnya dari daerah Sikka Asal
tarian : Kabupaten Sikka
Tari ini mengambarkan pesta para
masyarakat etnis Sikka Krowe sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan.
Biasanya ditarikan pada waktu malam hari yang diiringi musik gong waning dengan
lantunan syair-syair adat.
2. Tarian Poto Wolo, asalnya dari daerah
Ende Fungsi
tari ini biasa digunakan untuk menjemput para tamu agung, atau seorang kepala
suku yang diangkat secara adat. Poto artinya mengangkat atau menjunjung kebesarannya;
Wolo artinya gunung atau bukit.
3.Tarian
Wasa Wojorana, asal dari daerah Manggarai
Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara adat menjelang padi lading
menguning.Wasa Wojarana menggambarkan luapan rasa gembira , dengan melihat
bulir-bulir padi lading yang menjanjikan dan sebagi ungkapan terima kasih
kepada pencipta dan sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam
dan ancaman hama. Tarian ini ditampilkan ditampilkan dengan irama pelan dan
cepat .
4. Tarian Todagu, asal dari daerah Ngada
Todagu menggambarkan keperkasaan
pemuda Nage Keo dalam berperang dan membangkitkan semangat patriotisme. Tarian
ini diiringi oleh bambu dan tambur.
5.
Tarian Sangga Alu, asal dari daerah Ende
Tarian Sangga Alu merupakan tarian yang biasa ditarikan tarikan
untuk bersukur atas hasil panen.
6.
Tarian Ja’I, asal dari daerah Ngada
Tarian Ja'I
merupakan tarian perang, tarian ini dilakukan setelah menyelesaikan
peperangan.tarian ini berasal dari daerah Ngada.
7.
Tarian Perang
Tarian perang ialah tarian yang
menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata.
8.
Tari Garong Lameng
Sebuah tarian yang
dipertunjukan pada upacara Khitanan.
9.
Tari Cerana
Tari Cerana merupakan tarian upacara penyambutan
tamu dengan membawa tempat sirih.
10. Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya satu
ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka se,
pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun dan
tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan
sekitarnya.
11.
Wanda/ Toju Paรผ
Tarian massa penampilan secara perorangan/ individual dalam suatu acara,
biasanya menari dengan selendang diiringi dengan musik Nggo wani/ Lamba atau
musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus
memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu Ana
Noรถ, demikian sebaliknya Ana Noรถ memberi selendang kepada ada eda/ bele untuk
menari
12. Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara
penjemputan atau mengantar sarana paร loka/ sesajian atau para tamu dan
lain-lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama
dari setiap daerah di Ende Lio diantaranya yaitu : Napa Nuwa - Poto Wolo - Poto
Pala - Wanda Pala - Goro Watu/ Kaju dll. Tarian Neku Wenggu biasanya diiringi
dengan lagu Wenggu
13. Tarian Joka Sapa
Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti
tarian Manu Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/ penari
dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/ lagu gambus. Adapula tarian
nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir Pantai Ende Selatan/ Utara dengan
berbagai nama tarian seperti : Tarian Nelayan - Tarian Irikiki - TarianGetu
Gaga - Tarian Manusama - Wesa Pae dll.
14. Tarian Mure
Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/ gadis dari
keluarga mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon hujan.
Tarian ini dengan kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik
pengiringnya yaitu Nggo Wani/ Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk
tarian Mure.
15. Jara Angi
Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling
populer disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri dari anak-anak atau para
remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang terbuat dari Mbao (selendang
pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda.
Tarian ini diawali dengan atraksi lomba pacuan kuda
dilanjutkan dengan menari bersama diiringi dengan lagu Ruda Rudhu Redha dengan
musik gendang atau Nggo Wani/ Lamba. Keunikan dari tarian ini yaitu para
penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan not
atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.
16. Tarian Pala Tubu
Musu
Penari terdiri dari para ibu/ gadis dari setiap keluarga Mosalaki di
Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-laki sebagai penari woge untuk upacara Paรค
Loka atau memberi sesajian di Tubu Musu. Untuk mengiringi tarian ini yaitu,
musik/ lagu Nggo Wani/ Lamba dan Nggo Dhengi dan bagian akhir dari tarian ini
dengan gawi/ naro atau tandak.
17. Tarian Dowe Dera
Tarian Dowe Dera ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri
dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan
upacara ritual adat di tempat Mopo (ditengah-tengah ladang). Penari laki-laki
dengan musik gaku, membuat lubang pada tanah, sedangkan para ibu/ gadis mengisi
bibit tanaman yang sudah dilubangkan.
Tarian ini diiringi dengan lagu Dowe Dera disertai musik Gaku yang terbuat
dari bambu (lihat musik gaku) dan penarinya dilengkapi dengan pakaian adat
serta aksesorisnya.
18. Tarian Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang
dalam peperangan, penari terdiri dari para pejuang atau beberapa orang
laki-laki, dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau atau perisai dan
pedang / parang.
Tarian ini diawali dengan Neku Wenggu, dilanjutkan dengan Bhea dan woge
serta Ruรผ atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian
dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/ wani dan Lagu Da seko.
19.
Tarian Ule Lela Nggewa
Judul tarian ini
identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau
menyanyikan lagu Ulu lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini
penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang,
pada jaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya.
Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta
dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai
negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa.
20. Tarian
Topeng Bobu
Tarian Bobu adalah salah satu dari
sedikit tarian adat Sikka yang para penarinya mengenakan topeng wajah yang
memperlihatkan aneka ekspresi. Pada awalnya Tarian Bobu ditari sebagai tarian
perang, yang ditarikan untuk menggelorakan semangat tempur para prajurit dan
ketika menyambut para pahlawan sekembali dari medan laga.
Dalam perkembangannya kemudian, Tari
Bobu mendapatkan pengaruh dari budaya bangsa Portugis. Saat ini, Tarian Bobu
dianggap khas dari Desa Sikka dan kerap ditampilkan untuk menyambut tamu.
21. Tari
Higimitan
Sebuah tari yang menggambarkan rasa
kasih sayang antara dua ikatan pria dan wanita.
22. Tari
Kataga
Tari Kataga merupakan tarian bagian
dari upacara ritus, yaitu upacara penyambutan terhadap arwah nenek moyang.
23.
Tarian
Laba Sese
24.
Tarian
Gawi
Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara
berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu
Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
Dalam komposisi
bentuk gawi ada bagian -bagiannya yaitu :
§
Eko Wawi -
Sodha
§
Sike - Ana
Jara
§
Naku Ae Wanda
Pau
§
Ulu
Susunan dalam
Gawi dalam setiap penampilam adalah sebagai berikut : Mega Rema Ba-Oro
e-Sodha-Ndeo Oro.Waktu dan jumlah peserta tari gawi / naro tidak ditentukan
dan tarian ini biasa diadakan di Koja Kanga pada acara Nggua /
seremonial adat, bagi peserta gawi diwajibkan ikut bernyanyi pada bagian oro.
25. Tarian Nahang Tanang, berasal dari daerah Flores
Timur
Tarian ini brasal dari Flores Timur. Namang = Hentakan Kaki yang berirama.
Tahang = Padi. Tarian rakyat ini menggambarkan pemisahan gabah padi dari
bulirnya yang kemudian disimpan dalam lumbung padi
26. Tarian Kuku Manunggo, berasal dari daerah Sikka
Tari koko manunggo berasal dari Sikka. Koko = Ayam berkokok sedangkan
Manunggo = petani bekeja dipagi buta
arti dari tari ini adalah para petani bekerja gotong royong dengan semangat membersihkan ladang siap tanam yang diiringi gerak pacul dan lagu.
arti dari tari ini adalah para petani bekerja gotong royong dengan semangat membersihkan ladang siap tanam yang diiringi gerak pacul dan lagu.
27.
Tarian
Toja, berasal dari daerah Ende
ialah kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam
dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi
28.
Tarian
Wanda, berasal dari daerah Ende
ialah Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu
dalm suatu kelompok atau perorangan.
29.
Tarian
Wedho, berasal dari daerah Ende
ialah Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan
melompat sedangkan Woge merupakan Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan
kaki dengan penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau
atau perisai dan pedang /parang.
f). Kesenian
Bela Diri
Kesenian Bela Diri berupa Larik dan
Pencak Silat di kecamatan Riung Etu/ Sagi Sudu di kecamatan Boawae, Soa di
kecamatan Bajawa, Golewa, Nangaroro, dan Aesesa.
g). Seni Tembikar
Seni tembikar atau tanah liat/ taki
yang sudah terkenal di Kabupaten Ende yaitu Lise - Wolowaru dan Wolotolo -
Detusoko dimana hasil kerajinannya telah memenuhi kebutuhan masyarakat
Kabupaten Ende dan sekitarnya dalam hal perkakas dapur.
Adapula di tempat-tempat lain
membuatnya, tetapi hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri, kerajinan
tembikar seakan-akan hilang karena kalah bersaing dengan barang-barang import.
Pengolahan bahan baku tembikar yaitu dari tana taki atau tanah liat, ditumbuk
halus, diremas-remas dengan air hingga merekat, dibentuk dan dikeringkan lalu
dibakar dengan api. Beberapa macam jenis seni tembikar diantaranya yaitu:
-
Podo
Periuk berbentuk bulat dengan permukaan mulut bergerigi, gunanya untuk memasak nasi, jagung, singkong dll.
Periuk berbentuk bulat dengan permukaan mulut bergerigi, gunanya untuk memasak nasi, jagung, singkong dll.
-
Sewe
Bentuknya hampir sama dengan periuk, hanya mulutnya lebih lebar dan ada juga dilengkapi dengan telinga digunakan untuk memasak lauk pauk dll.
Bentuknya hampir sama dengan periuk, hanya mulutnya lebih lebar dan ada juga dilengkapi dengan telinga digunakan untuk memasak lauk pauk dll.
-
Paso
Bentuknya bulat lonjong dilengkapi dengan lingkaran pinggir kaki, digunakan sebagai tempat penampung lauk pauk yang sudah dimasak juga digunakan tempat merendam tarum/ taru menjadi nila.
Bentuknya bulat lonjong dilengkapi dengan lingkaran pinggir kaki, digunakan sebagai tempat penampung lauk pauk yang sudah dimasak juga digunakan tempat merendam tarum/ taru menjadi nila.
-
Kawa
Bentuknya bulat ceper dilengkapi dengan telinga, digunakan sebagai tempat penggorengan dan memasak lauk pauk dan masakan lainnya.
Bentuknya bulat ceper dilengkapi dengan telinga, digunakan sebagai tempat penggorengan dan memasak lauk pauk dan masakan lainnya.
-
Kumba
Periuk besar berbentuk lonjong dengan bagian dasarnya rata digunakan sebagai tempat air minum dan tuak/ moke. Permukaannya dibuat ukiran garis dan binatang ampibi/ reptil.
Periuk besar berbentuk lonjong dengan bagian dasarnya rata digunakan sebagai tempat air minum dan tuak/ moke. Permukaannya dibuat ukiran garis dan binatang ampibi/ reptil.
-
Nggusi
Ukurannya lebih kecil dari kumba, bentuk dan kegunaanya sama seperti kumba.
Ukurannya lebih kecil dari kumba, bentuk dan kegunaanya sama seperti kumba.
-
Pane
Bentuknya seperti piala minuman, dihiasi dengan ukiran bergaris lurus dan silang memenuhi lingkaran, digunakan sebagai tempat nasi atau lauk/ piring makan.
Bentuknya seperti piala minuman, dihiasi dengan ukiran bergaris lurus dan silang memenuhi lingkaran, digunakan sebagai tempat nasi atau lauk/ piring makan.
-
Bha
Bentuknya ceper seperti piring makan, dibagian dasar dengan lingkaran timbul digunakan sebagai piring makan dan lain sebagainya.
Bentuknya ceper seperti piring makan, dibagian dasar dengan lingkaran timbul digunakan sebagai piring makan dan lain sebagainya.
-
Piri
Bentuknya seperti bha/ piring hanya ukurannya lebih kecil, digunakan sebagai tempat tatakan minuman dan tempat sambal dll.
Bentuknya seperti bha/ piring hanya ukurannya lebih kecil, digunakan sebagai tempat tatakan minuman dan tempat sambal dll.
-
Mako
Bentuknya seperti mangkok, bulat lonjong, pada bagian dasarnya rata dilengkapi dengan lingkaran timbul sebagai dudukan dan pada bagian samping dengan tangkai pegangan, digunakan sebagai tempat minum dll.
Bentuknya seperti mangkok, bulat lonjong, pada bagian dasarnya rata dilengkapi dengan lingkaran timbul sebagai dudukan dan pada bagian samping dengan tangkai pegangan, digunakan sebagai tempat minum dll.
Dalam perkembangan
sesuai dengan tuntutan zaman para pengrajin seni tembikar telah membuat
berbagai bentuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini seperti;
asbak, pot bunga, guci hiasan dll.
h). Lagu Daerah Flores
Daerah Ende/Lio
·
KAU MAKO
Kau Mako, yang artinya Apalah Daya. Lagu keluhan keluhan
seorang ibu/bapak atas pergi anak-anaknya sehingga ditinggal seorang diri.
Sifatnya memberi nasihat kepada anak-anak yang ingin meninggalkan orang tunya.
·
HARO E
Haro E, yang artinya Hatimu Gelisah.
Lagu uyang menggambarkan kehelisahaan seorang gadis, yang merindukan kekasih
hati, sehingga makan minum tak disentuhnya
·
DEKU DU DELE
Deku Du Dele, yang artinya Gadis Mau
Mengangis. Suatu lagu yang menggambarkan percintaan, diman si pemuda menyuruh
kekasihnya menungggu di suatu tempat yang sudah disepakati.
·
AME SIMO
NGAWU
Ame Simo Ngawu, yang artinya Bapak Sudah Terima Belis
(mas kawin). Suatu lagui adat yang menggambarkan permintaan seorang gadis
kepada bapaknya, supaya jangan terima belis (mas kawin) dulu, karena dia
(gadis) belum ingin kawin.
·
WETA SAGA PANDA
Weta Saga Panda, yang artinya Si Gadis Bertubuh Pendek.
Suatu lagu ejekan dari pemuda terhadap gadis. Lagu ini merupakan lagu jenaka.
·
DESO KAMI E
Deso Kami E, yang artinya Sedih Sekali. Lagu ratap yang
menceritakan kematian yang tragis dari seorang ayah yang terbunuh dalam
perjalanan.
Daerah Manggarai
·
JITA MBEWU
Jita Mbewu, yang artinya Bita Rimbun (nama pohon). Suatu
lagu kiasan yang menggambarkan wajah seorang gadis yang ditutupi rambut yang
lebat sehingga tidak kelihatan wajahnya.Benggong, yang artinya Bergembira.
Suatu lagu percintaan yang menggambarkan perjumpaan . antara pemuda dan pemudi
waktu bersama-sama menimba air.
·
AKU REHANG
Aku Rehang, yang artinya Aku mengangis. Lagu ini
menggambarkan kesedihan seseorang yang selalu mengalami kesusahan. Sifatnya
ialah kiasan dimana menggambarkan segala usaha yang terhalang.
·
SILI ABAR
MANGA WELA
Sili Abar Manga Wela, yang artinya Bunga
di Tebing. Lagu ini mengandung arti kiasan yang mengammbarkanb seorang gadis di
antara bahaya.
·
PALE ETA GOLO
LAUNE
Pale Eta Golo Laune, yang artinya Seorang
Pemburu. Lagu ini mengisahkan kehidupan seorang pemburu.
Daerah Ngada
·
KAUKO SOLO
Kauko Solo, yang artinya Sudah Benar. Lahu kiasan memuja
kecantikan seorang gadis, kemana saja ia pergi akan selalu muncul
kecantikannya.
·
YALO
Yalo, yang artinya Anak Yatim. Lagu ini menggambarkan
penderitaan dan kemelaratan anak yatim piatu dalam hidupnya. Tujuannya ialah
meminta belas kasihan orang lain.
·
BENGU RELE
KAJU
Bengu Rele Kaju, yang artinya Burung
di Atas Pohon. Suatu lagu kiasan yang menggambarkan kegembiraan seorang
gadis/pemuda. Sifatnya gembira, yang biasanya dinyanyikan dalam suasana
gembira.
·
O INE MORE
ATE
O Ine More Ate, yang artinya O Mama
yang Baik. Lagu ratap yang menggambarkan kesedihan seorang anak piatu yang
ditinggalkan ibunya.
Daerah Flores Timur
·
FAIK LALI
Faik Lali, yang berarti Aku Juga. Lagu
ini menggambaarkan percakapan diantara orang-orang desa yang berkumpul menunggu
giliran menimba air. Sifatnya ialah mengandung permintaan dalam memperoleh
giliran.
·
OLE LOLO
Ole Lolo, yang berarti Melarat Tengah
Berlayar. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang sedang berlayar
dengan perahuperahu layar. Sifatnya mengeluh nasib melarat (keluhan).
·
REMA PIA
Rema Pia, yang artinya Tengah Malam di Rantau. Lagu ini
menggambarkan kesepian seorang perantau jauh dari sanak saudara dan merupakan
lagu nasihat bagi orang-orang yang ingin merantau.
·
BALE NAGI
Bale Nagi, yang artinya Pulang ke Nagi
(kampung halaman). Lagu ini menyatakan kegembiraan seorang pelaut yang pulang
ke kampung halaman.
·
OA ELE LE
Oa Ele le, yang Buat senag Hati. Suatu
lagu jenaka yang dipakai oleh pemuda-pemudi untuk menggambarkan hati, tanpa
tujuan buruk.
·
PATEN INA-AMA
Peten Ina-Ima, yang artinya Terkenang
Ibu Ayah. Suatu lagu kenangan akan orang tua oleh anak-anak. Suatu lagu yang
sifatnya nasihat di antara anak-anak.
i). Kain Tenun
Tenunan yang
dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Flores merupakan seni kerajinan tangan
turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun
tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri
khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan
bangga mengenakan tenunan asal sukunya.
Kain tenun atau
tekstil tradisional dari Flores secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi
seperti :
a) Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan
menutupi tubuh.
b) Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada
pesta/upacara adat.
c) Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan
(mas kawin)
d) Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara
kematian.
e) Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk
mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
f) Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
g) Sebagai prestise
dalam strata sosial masyarakat.
h) Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena
menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam,
bencana, roh jahat dan lain-lain.
i)
Sebagai alat
penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat
tradisional Flores, tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi
karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/
penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi
ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari
nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang
ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai
spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya
tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan
pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara,
tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi
dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/
kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun
merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Flores terutama
masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu
luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan
kebutuhan busananya.
Jika dilihat dari proses
produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Flores dapat
dibagi menjadi dua jenis, yakni :
Tenun Ikat
Disebut tenun ikat karena pembentukan
motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di
Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat,
sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka
benang yang diikat adalah benang Lungsi.
Tenun Lotis/ Sotis atau Songket
Disebut juga tenun Sotis atau tenun
Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu
mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya,
produk tenunan di Flores terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut
dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap,
seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena
masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk,
mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan
warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/
pewarnaan benang, pengrajin tenun di Flores telah menggunakan zat warna kimia
yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur,
tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat
warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat
warna reaktif.
Namun demikian
sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam
proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif,
minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan
penghematan obat zat pewarna.
Dari kedua jenis
tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
-
Tenun Ikat ;
penyebarannya hampir merata di semua daerah kecuali Kabupaten Manggarai dan
sebagian Kabupaten Ngada.
-
Tenun Lotis/
Sotis atau Songket ; terdapat di Lembata, Sikka, Ngada, dan Manggarai
Inilah khasanah
budaya yang terlihat dari beragam motif dan ragam hias kain tenun ikat yang
dihasilkan wanita di bumi Flobamora ini. Dari motif yang super sampai yang
kecil, memperlihatkan bagaimana kehebatan wanita di tanah kami dalam
menciptakan sehelai kain tenun ikat.
Puluhan bahkan
ratusan jenis motif dan ragam hias yang dihasilkan oleh wanita di bumi
Flobamora ini dapatlah dibagi ke dalam tiga jenis kain tenun ikat yaitu
1.
Kain tenun
ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan arti.
2.
Kain tenun
ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan tidak mempunya arti.
3.
Kain tenun
ikat yang motif dan ragam hiasnya tidak ada nama dan tidak ada arti.
Warna yang ada merupakan
hasil racikan dari dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan ada di bumi
Flobamora. Diramu dengan sangat hati-hati, doa dan mantra dibacakan agar kain
tenun ikat yang dihasilkan menjadi kain yang bermutu tinggi.
Proses pewarnaan
dijalani dalam waktu yang cukup lama agar sari warna benar-benar meresap pada
urat benang. Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan
pewarnaan yaitu Mengkudu, Tarum, Zopha, Kemiri, ndongu, buah usuk dan
lain-lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari : merah, yang
dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum.
Pembuatan seni tenun
ikat Ende Lio hanya dilakukan oleh para ibu/ gadis dari pesisir pantai selatan
kabupaten Ende, sedangkan bagian tengah/ utara tidak mengerjakannya karena pore
jaji, bila dilanggar akan terjadi bencana alam.
Dalam perjanjian
yaitu masyarakat pesisir selatan mengerjakan bahan tenun ikat, ditukar dengan
bahan makanan yang dihasilkan oleh masyarakat bagian tengah dan utara Kabupaten
Ende. Demikian pula bahan baku seperti kapas dan bahan pewarna dijual atau
ditukar dengan bahan sawo engge pake pela nggubhu nggai.
-
Proses Kapas
Menjadi Benang
Proses awal biji kapas dibersihkan
dengan alat Ola Ngeu, lalu dibersihkan dengan woร/ busur kecil. untuk
menjadikan elo/ gulungan kapas yang siap dipintal/ nggoru menjadi benang dengan
alat jata dan ladu. Benang yang telah dipintal digulung dengan alat meka untuk
menjadi gulungan benang atau lelu meka, lalu digulung dengan ola woe menjadi
benang untuk goรค.
-
Pete tege/
ikat motif
Gulungan benang ditalang pada alat Dao
Goa untuk ——- dengan jumlah gami tertentu, sesuai dengan motif yang
direncanakan. Bahan tenun ikat setelah Goa gami menjadi lembaran benang,
dipindahkan pada Dao Meka untuk diikat motifnya dengan pucuk daun boro/ gebak;
pucuk kelapa, tali rafia dll.Bagian-bagian tenun ikat yaitu: Vertikal:
-
One/ motif
utama
-
Eko
-
Foko
-
Bue
-
Mettu
-
Mengge
-
Tekka
Horisontal:
-
Upu
-
Teo Timbu
-
Lere
-
One/ singgi
-
Bharaka
-
Engo
-
Lombo
Motif
utama adalah merupakan nama dari jenis dan macamnyasarung lawo. Rawo, terdapat
pada bagian tengah dan adapula terdapat pada setiap lembaran dari sarung. Motif
penghias adalah motif yang mendampingi motif utama yang disebut singi atau geto
/ gero. Menurut jenis dan macamnya motif serta asal lokasi pembuatan tenun ikat
Kabupaten Ende dapat kita bagikan menjadi 2 (dua) ethnik yaitu:
1. Ethnik Ende: Rawo Nggaja Sanggetu – Rawo Nggaja
Manu – Rawo Jara Nggaja – Rawo Jara – Rawo Pea – Rawo Soke Wunu Karara – Soke
Bere Kaze – Rawo Rote – Rawo Mata – Rawo One Mesa – Rawo Rombo – Rawo Mangga/
Bhuja/ Ndala – Rawo Ngera/ gero dll
2. Ethnik Lio: Lawo Nepa Mite/ Te’a – Lawo Pundi –
Lawo Mogha – Lawo Kelimara – Lawo mata sinde – Lawo Koko Bheto – Lawo Luka –
Lawo Gami teraesa – Lawo Gelo dll.
Selain
lawo/ rawo ada pula tenun ikat berbentuk selendang/ lembaran yaitu Semba –
Senai – Lete – Sinde – lembaran kontemporer seperti ana deo, inepare dan bahan
jadi lainnya.
j). Alat Musik Masyarakat Flores
1.
FOY DOA
Kabupaten Ngada Flores yang beribukota Bajawa mempunyai banyak ragam
kesenian daerah. antara lain musik Foy Doa. Seberapa lama usia musik Foy Doa
tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan
yang dapat dipakai untuk mengukurnya.
Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari
buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih. Mungkin musik ini biasanya
digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan
membentuk lingkaran.
Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik
Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini
tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair
dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan, sebagai contoh : Kami
bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang
artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan,
Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu
jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.
|
|
2. FOY PAY
Alat musik tiup dari
bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti
halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan
dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi,
fa, sol.
|
|
3.
NUREN
Alat musik ini terdapat di Solor Barat. Orang Talibura di Sikka Timur
menyebut alat musik ini dengan nama Sason, apabula disebut seara puitis
menjadi Sason Nuren. Secara etimologi Sason berarti jantan, dan Nuren berarti
perempuan. Sason Nuren merupakan dua buha suling yang dimainkan oleh seorang
sendirian, merupakan sebutan keramat, sakral, kesayangan, alat hiburan.
Menurut cerita tua, seorang tokoh legendaris Solor
Barat konon berkepala dua sekaligus memiliki rmulut dua. Orang Solor Barat
menyebutnya dengan nama Edoreo sedangkan di bagian tengah Solor Barat
menyebutnya dengan nama Labaama Kaha.
Konon menurut erita ia pernah hidup 3-4 abad yang lalu.
Konon menurut erita pula ia mampu meminkan Sason Nuren sekaligus, sehingga
apabila sedang maminkan lat musik ini orang mengira ada dua pribadi yang
sedang memainkan Sason Nuren. Menurut keperayaan penduduk setempat Sason Nuren
merupakan suara para peri (nitun).
|
|
4.
SUNDING
TONGKENG
Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara
memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm.
Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah
6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala.
Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute.
Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng,
sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama
Sunding Tongkeng.
Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari
sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada
pantsngan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita
|
|
5.
PRERE
Alat bunyi-bunyian dari Manggarai ini terbuat dari seruas bamboo keil
sekeil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah
dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku
ruaw bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung
bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun
pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar
suaranya.
Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi,
juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat
rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama
alat ini disebut Prere.
|
|
6.
SULING
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrument suling
bambu. Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain (
40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil),
dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan
bass.
Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang
berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada
berbentuk besar. Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring
bernada 2 oktaf.
Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord,
maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau
suling alto bernada sol, tenor mi, dan dan bass bernada do.
Musik suling merupakan salah
satu kesenian daerah yang terdapat di Kabupaten Ngada
Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi
seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu
peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu
sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan
turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk
memeriahkan hari-hari nasional.
|
7. GAMBUS
Alat musik diperkirakan masuk ke Flores Timur
sejak masuknya agama Islam sekitar abad 15. Alat musik ini terbuat dari kayu,
kulit hewan, senar, dan paku halus. Alat musik petik ini merupakan instrumen
berdawai ganda yaitu, setiap nada berdawai dua/double snar. Dawai pertama
bernada do, dawai kedua bernada sol. Dan dawai ketiga bernada re, atau dawai
pertama bernada sol, dawai kedua bernada re, dan dawai ketiga bernada la.
Fungsi alat musik ini untuk mengiringi lagu-lagu padang pasir.
|
|
8.
SOWITO
Alat musik
pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bamboo yang dicungkil kulitnya
berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan
kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai.
Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu
sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu
menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat
beberapa buah sesuai kebutuhan.
|
|
9.
REBA
Alat musik
ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai
wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah
dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan
lilin lebah.
Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang
tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah.
Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer. |
|
10.
MENDUT
Alat musik
petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang
1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun
salah satunya dilubangi. Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi
empat dengan ukuran 5 x 4 m.
Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang
kemudian diganjal dengn batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara
memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu
kecil.
|
|
11.
KETADU MARA
Alat musik
petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai
sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak
cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.
|
12.
KERONTANG
Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih
banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang
pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini.
Alat musik bunyi-bunyian
ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga
belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan
kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.
|
|
13.
TATABUANG
Di Tanalein alat musik ini disebut Leto, di Desa Lamanole Flores Timur
disebut Tatabuang. Rupanya mirip dengan nama Totobuang alat musik dari
Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari
Maluku.
Sebutan Tatabuang hanya terdapat di Lemonale, dan di
desa ini banyak terdapat orang suku Kera yang menyebut dalam sejarah
pelayaran menggunakan perahu kora-kora. Terdapat sebuah erita bahwa asal
muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang
tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat
mengganggu kepergian mereka kek kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat
alat musik ini untuk sang anak.
Di Lemonale permainan Tatabuang melalui dua cara, yaitu
digantung seperti Leto dan yang lain diletakkan di atas pangkuan.
Tatabuang dibuat dari batangan kayu Sukun yang
digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Tatabuang
yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di
Wulanggintang.
|
|
14. THOBO
Alat musik tumbuk dari
bamboo ini berasal Kabupaten Ngada. Seruas Bambu betung yang buku bagian
bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya
ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini
berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.
|
|
15.
GONG
Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa
Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya
digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian
dalam penerimaan tamu dan sebagainya.
Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain antara lain jumlah gong, ukurannya, cara memainkannya, serta
penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.
Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama,
untuk daerah flores antara lain:
-
Gong Ngada
Gong Ngada terdiri dari lima buah dan umumnya berukuran
kecil. Nama-nama gong : Doa yaitu dua buah gong yang dimainkan seara silih
berganti. Dhere yaitu terdiri dari satu gong. Uto-uto yang juga hanya satu
gong. Wela yaitu gong yang paling tingi suaranya.
-
Gong Dawa
Gong yang digunakan
umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong : Tetun yaitu dua buah gong keil,
namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya
berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini
dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang
dimainkan dengan tidak terlalu cepat.
|
1) Musik Tanah
Musik Tanah dilakukan dengan cara menyentakkan
kaki pada tanah sebagai ritme seperti dalam Gawi / Naro atau Todo Pare
2) Musik Batu
Batu Pena Jawa sebagai ritme untuk mengiringi lagu
O Lea di saat titi jagung.
3) Alat musik tradisional lainnya
1. NGGERI NGGO
Terbuat dari satu ruas
bambu betung dan musik ini digunakan saat acara Nainuwa / sunatan.
|
|
2. NGGO DHENGI
Disebut juga Nggo Bhonga
yaitu terbuat dari potongan kayu Wae atau Denu terdiri dari tujuh potong kayu
diikat pada untaian tali. Musik ini dimainkan saat senggang di pondok ladang
/ kebun dan juga sebagai musik pengiring tarian tradisional.
|
|
3. GAKU
Alat musik terbuat dari
bambu. Alat musik ini digunakan pada acara Dowe dera dan sebagai alat bunyi
pada Ele seda dan juga sebagai alat pengusir hama / burung di sawah / ladang.
|
|
4. SATO
Alat musik gesek,
terdiri dari buah bila atau batok kelapa, dipasang dengan gagang seperti
biola serta dilengkapi dengan satu dawai / senar yang terbuat dari serat daun
Lema Mori / lidah buaya hutan dan Nana Koja / getah pohon koja,. Alat
geseknya dibuat seperti busur hanya ukurannya kecil dan talinya dibuat
seperti dawai / senar.
|
|
5. NGGO LAMBA/WANI
Dibuat dari batang kayu
nangka / kelapa yang dilubangkan, pada bagian tengah, dasar lubang dipasang
dengan bilah bambu dan seekor anak ayam dan ditutup dengan kulit sapi.
Adapula lamba / wani terbuat dari kulit manusia seperti di Wologai-Detusoko
dengan alat pemukul terbuat dari Elo ki / ilalang. Lamba / wani pada umumnya
terdiri dar dua macam yaitu Lamba Ine / Induk dan Lamba Ana /anak. Lamba /
Wani Ana ukuran lebih kecil dari Lmba / Wani Ine.-Nggo : alat musik Gong /
Nggo terbuat dari logam kuningan-tembaga-besi atau bahan logam lainnya,
bentuknya bulat, pada bagian tengah dengan bonggolan. Nggo terdiri dari tiga
jenis yaitu:
-
Nggo Dhengi
Dho
-
Nggo Senawa
-
Nggo Bemu /
bass
-
Diri :
musik pelengkap sebagai ritme pada nggo lamba / wani. Alat ini dibuat dari
sepotong
logam atau bambu pecah / Gaku. |
|
6.FEKO/SULING
Alat musik tiup terbuat
dari wulu atau bela, sejenis bambu kecil dan tipis. Feko terdiri dari
beberapa jenis yaitu :
-
Feko Nangi
: ditiup pada saat tengah malam dengan mengalunkan nada-nada ratap dan cara
meniupnya seperti rekorder.
-
Feko Bu :
ditiup dengan nada-nada improvisasi solis, diiringi dengan beberapa gendang
dan jenis suling ini disebut juga suling para gembala.
-
Feko Redho
: jenis suling ini ditiup secara duet atau trio dengan harmonis pada
nada-nada lagu, biasa digunakan untuk arak-arakan pengantin atau acara
lainnya.
-
Feko Ria :
jenis suling ini ditiup secara kelompok dalam paduan nada secara harmonis
dalam irama mars atau irama lainnya pada acara pernikahan atau acara resmi
lainnya.
-
Feko Pupu :
suling ini bentuknya agak unik seperti alat pompa dan cara meniupnya dengan
menggeser bambu untuk menghasilkan nada bass.
|
|
7.GENDA/ALBANA
GENDA/ALBANA
Terbuat dari
pangkal batang kelapa atau kayu dan kulit kambing. Bentuknya setengah bulatan
seperti periuk / podo pada bagian permukaannya. Dalam komposisinya ada tiga
jenis dengan jumlah lima buah Genda / albana yaitu :
-
Genda Redhu, ukuran kecil sebanyak dua buah untuk
improvisasi
-
Genda Wasa, ukuran sedang sebanyak dua buah untuk
ritme
-
Genda Jedhu, ukuran besar sebanyak satu buah untuk
bass Musik Genda /Albana biasanya dipadukan dengan suling / Feko atau
lagu-lagu untuk mengiringi tarian terutama tarian Wanda Pau dalam suatu acara
pernikahan / sunatan dan acara lainnya.
|
k). Seni Sastra
Setiap suku/etnis memiliki bahasa
sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian
sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan
menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain
tradisional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias
tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan
dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam
akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seni sastra ini
khususnya terdapat pada masyarakat ende mempunyai dua etnik yaitu Ende dan Lio. Kedua
suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek
/logatnya, sehingga dari segi bahasanya suku Ende disebut ata jaรถ dan
suku Lio disebut ata ina. Seni sastra di masyarakat Ende-Lio sebagian
besar menyangkut penghormatan kepada Sang Khalik dan pelestarian alam.
Adapun seni sastra
yang ada di Ende-Lio diantaranya :
-
Sua: Ungkapan kata-kata adat yang
mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda
tersebut bila digunakan sebagai sarana
-
Sua Sasa: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat
kutukan atau membalas / mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang lain
baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
-
Sua Somba: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat
permohonan agar menjalankan sesuatu kegiatan tidak mendapat hambatan dari
perbuatan manusia maupun alam.
-
Sua Sola: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat
permohonan agar dalam kegiatan / usaha memperoleh hasil yang berlimpah atau
yang memuaskan.
-
Bhea: Ungkapan kata-kata adat merupakan
syair kebanggaan dari suku suku / kaum keluarga secara turun-temurun diucapkan
pada saat upacara seremonial adat dan juga awal dari tarian Woge.
-
Nijo: Ungkapan kata-kata adat / doa dengan
kata kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa Mali / Dukun dalam proses
penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ruรผ atau penyakit lainnya.
-
Nunga Nange: Berbagai jenis cerita rakyat seperti
mite,sage,legenda,dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang atau
menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
-
Lota: Membaca tulisan naskah / syair pada
daun lontar / wunu keli dalam bahasa dan tulisan sansekerta. Hal ini merupakan
suatu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang
mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan budaya Jawa / luar
yang telah menjadi akar budaya Ende yang dipertahankan secara turun–temurun
hingga kini.
-
Sodha: Ungkapan kata-kata adat dengan nada
pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan dengan acara pesta adat
yang diperuntukkan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk.
Sodho Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya
tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pesodha melainkan hanya orang-orang
tertentu.
-
Doja: Penyanyi menyanyikan lagu yang
dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu
pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan.
Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
-
Jenda: Dinyanyikan secara spontan / tanpa
teks oleh seseorang atu dua orang secara bergantian dengan syair Pele Nekรซ
seperti berbalas pantun pada acara pesta seremonial adat. Jenda biasanya dalam
posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila
dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran.
-
Woi Nada: ratapan yang mengisahkan perjalanan
hidup pasangan muda mudi yang menyedihkan dalam ceritra rakyat Ende Lio dan ada
pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit
dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar unuk menelusuri penyebab
sakit/ penyakit.
-
Peo OroPeo Oro: yaitu menyanyikan lagu-lagu
tradisional oleh peo/solo dan di jawab oleh koor/oro. Peo oro ini sangat kaya,
karena untuk mengatasi sesuau pekerjaan yang berat menjadi ringan seperti:
-
Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan
rumah adat wau barang berat lainnya degan cara menaruh bersama-sama
-
O Lea: Lagu titi jagung.
-
Rongi: Memuka lahan atau kebun
-
Dowe Dera: Menanam tananam
-
Debu Dera: Menetas padi
-
Dll.
-
Soka ke / Lai Lowo: Syair lagu untuk menina bobokan
anak dan lagunya hampir sama dengan sodha, hanya syairnya merupakan kata-kata
jenaka dan Soka ke ini juga dipakai dlam acara Gawi yang tidak resmi disebut
Sodha Lai Lowo.
-
Ndeo : Penyanyi menyanyikan lagu secara
bebas baik secara seius maupun bersifat jenaka / menghibur dalam berbagai
acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-Lio dalam rekaman audio visual
berbentuk kaset / VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para seniman
/ seniwati kabupaten Ende.
l). Seni
Anyam
Bahan-bahan anyaman yang sering
digunakan yaitu kulit bambu muda, wunu re’a/ daun pandan hutan; wunu koli/ daun
lontar; kulit bhoka ino; Ngidho; Ua; Taga; Tali eko. Bahan tersebut diatas
diolah menurut kebutuhan masing-masing jenis anyaman agar lancar dalam proses
pembuatan dan awet dalam penggunaannya. Adapun produk hasil anyaman diantaranya
yaitu:
a. Mbola Mbola, terdiri dari tiga jenis:
- Mbolarombo
Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio.
Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio.
- MbolaGata
Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki.
Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki.
-
Nora
Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll.
Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll.
b. Kadhengga
Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunaakn sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Puฯ – weni – wuฯ atau kasar – halus – bubuk.
Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunaakn sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Puฯ – weni – wuฯ atau kasar – halus – bubuk.
c. Kidhe
Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat. Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.
Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat. Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.
d. Kadho
Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.
Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.
e. Wati-Wati
dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dll. Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dll.
dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dll. Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dll.
f.
Kopa
Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu – luka – lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.
Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu – luka – lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.
g. Mbeka Weti
Tempat sirih pinang/ kapur yang
dianyam dari daun lontar dengan bentuk empat persegi, dibuat dari 2 susun dan
bagian dalam dibuat 2 laci untuk menyimpan uang, pe’a bako dll.
h. Mbeka/ Mbosa
Dianyam dari daun lontar, bentuknya
seperti mbola gata hanya agak lonjong, dilengkapi dengan tali gantungan. Jenis
anyaman ini disebut juga mbola doko.
i.
Rembi
Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.
Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.
j.
Supa
Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.
Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.
k. Ripe/Nepe
Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suรคnga, uang dll.
Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suรคnga, uang dll.
l.
Teรซ/Tikar
Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keรถ, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teรซ Ndori dengan pinggir kain merah, Teรซ Reka. Teรซ Roga biasa membuat khusus tikar jemuran. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati.
Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keรถ, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teรซ Ndori dengan pinggir kain merah, Teรซ Reka. Teรซ Roga biasa membuat khusus tikar jemuran. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati.
m. Lรชpo
Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.
Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.
n. Kiko
Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.
Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.
o. Raga
Terbuat dari kulit bambu dengan dasar
empat sudut seperti mbola, dilengkapi dengan empat tali gantungan untuk tempat
ikan dll.
p. Bela Raga
Bela terbuat dari anyaman rotan
ua/taga untuk digunakan sebagai sarana yaitu wedhi raga.
q. Sesa dan Notu Sesa
Dianyam dari bhoka, sedangkan notu
dianyam dari kulit bambu, digunakan sebagai alat penangkap ikan, udang dan
binatang air lainnya.
r.
Wuwu
Keranjang besar berbentuk segi empat,
dianyam dari bambu dilengkapi dengan pintu yang tidak dapat keluar, digunakan
sebagai alat penangkap ikan laut.
s.
Ola Bao
Ikat pinggang besar yang dianyam dari
tali eko atau jenis tali lainnya digunakan sebagai ikat sarung luka/ ragi sewi
lowe pada upacara adat dan acara resmi lainnya.
t.
Rabha
Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.
Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.
u. Kata
Keranjang yang
dianyam dari daun kelapa, dilengkapi dengan tali gantung pikulan, sebagai
tempat untuk mengisi hasil ladang, ayam dll. Ada beberapa jenis keranjang yaitu
kata mapa, kata kowe, kata rabha, kata manu, kata rembi dll.
2.
Makanan
Khas
v Kare Rajungan
Rajungan yang bernama latin Portunus Pelagicus,
merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai sumber pangan
dengan harga yang cukup mahal. Rajungan merupakan kepiting yang memiliki
habitat alami hanya di laut. Rajungan juga memiliki beberapa keunggulan yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa
keunggulan, pemanfaatan, dan potensi rajungan.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi
tinggi. Kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Kandugan
karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1. Rata-rata
per 100 gram daging kepiting dan rajungan berturut-turut sebesar 14,1 gram, 210
mg, 1,1 mg, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
v Ayam Bumbu
Rendatapa
Ayam Bumbu Rendatapa adalah makanan khas Ende, Flores. Cara membuatnya,
ayam dimasukan kedalam tumisan berbagai macam bumbu dapur, kemudian ditambah
dengan santan encer. Setelah ayam setengah matang kemudian ditambahkan santan
kental. Perpaduan ini lah yang kemudian terkenal dengan sebutan Ayam Bumbu
Rendatapa.
v Ayam Bakar Ende
Sementara Ayam Bakar Ende Flores juga masih termasuk masakan khas Ende, Flores. Proses pembuatannya sama dengan Ayam Bumbu Rendatapa tapi kemudian ayam dibakar. Jadi Ayam Bakar Ende Flores adalah Ayam Bumbu Rendatapa yang dibakar.
v Ikan Bakar Ende
Flores
Ikan Bakar Ende Flores adalah masakan khas dari Ende Flores yang
menggunakan dua macam bumbu dalam pembuatannya. Ikan yang digunakan untuk
membuat masakan ini adalah ikan kue. Setelah ikan dibersihkan, ikan direndam
dengan bumbu pertamanya yaitu bawang putih, garam, air jeruk nipis, dan
mentega. Setelah itu ikan hasil rendaman dibakar dengan menggunakan daun pisang
sampai ikan sudah terlihat garing. Setelah itu ikan diangkat dan dibalur dengan
bumbu rendata’pa, bumbu khas Flores, kemudian dibakar kembali. Pembakaran
dengan dua bumbu ini membuat rasa Ikan menjadi sangat nikmat dan menggoda
selera. Menu ini disajikan dengan selada, labu, acar, dan ketimun yang membuat
ikan terasa luar biasa.
v Ikan Kuah Belimbing
Ikan Kuah Belimbing adalah masakan khas Ende Flores dengan bahan dasar Ikan
Kakap Merah dan belimbing sayur. Pada proses pembuatannya ikan direndam dahulu
dengan menggunakan garam, jeruk nipis, dan bawang putih sehingga mematikan bau
amis dan anyirnya. Setelah itu ikan direbus bersama dengan air yang telah
ditaruh dengan berbagai macam bumbu dapur dan belimbing sayur. Rasa yang
dihasilkan dari Ikan Kakap dan belimbing ini adalah sedikit asam dan pedas,
yang pastinya enak dan segar.
v
Roti Kompiang
Salah satu makanan khas Flores adalah roti kompiang, yaitu roti padat yang
diberi wijen.
v Sayur Daun Paku
Sayur daun paku ini rasanya segar dan agak pahit.
v Minuman Sopi
yang beralkohol.
v Kopi
Orang Manggarai sangat suka minum kopi. Setiap kali bertamu, Anda akan
disuguhi kopi buatan sendiri yang rasanya sangat mantap. Bahkan, untuk orang
Manggarai ada acara minum kopi sebelum tidur.
J. Upacara Adat
* Upacara Perkawinan
a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur
Kehidupan
wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan
pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang
mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam
jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh. Jenis perkawinan
yang sampai saat ini masih dilaksakan ialah:
·
Perkawinan biasa
atau perkawinan Gete daha/pana gete. Perkawinan didahului dengan peminangan
resmi oleh klen penerima wanita terhadap klen pemberi wanita dengan
urutan-urutan tata cara menurut adat.
·
Perkawinan Bote
kebarek, di Adonara ialah Lakang yaitu perkawinan meminang anak dari kecil
(dijodohkan sebagai istri rumah/bandingkan dengan di Alor) jadi wanita pada
usia 6 tahun dihantar kerumah laki-laki untuk dipelihara.
·
Kawin lari karena
tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Sang wanita memutuskan untuk
lari meninggalkan rumah orang tua, atau gadis atau lari kerumah laki-laki,
kemudian urus perkawinannya. Jika ini terjadi, biasanya klen penerima wanita
harus menambah nilai tutup malu atas kejadian itu kepada keluarga wanita.
·
Loa wae menaate.
Perkawinan diadakan karena wanita telah hamil sebelum urusan selesai. Jika
terjadi tetap didahului dengan pinangan, belis dibayar juga satuan nilai tutup
malu atas kejadian itu.
·
Liwu/Dopo keropong
cara untuk menghantar pria ke rumah wanita, ini terjadi pada perkawinan Lela di
Adonara, dimana kawin lebih dahulu baru kemudian baru bayar belisnya.
Perkawinan cara ini sering dibayar kepada kerabat sendiri/saling utang-piutang
dalam klen.
·
Liwu weki atau
Dekip kenube atau lelaki serobot kerumah gadis, sehingga dengan cara agak
mendesak orang tua wanita menyerahkan anak gadisnya dalam tangan lelaki. Cara
ini juga terjadi di Sikka
·
Kawin Beneng,
dengan menawarkan anak gadis melalui usaha memperkenalkannya ke desa-desa yang
jauh agar mendapatkan jodoh, dengan demikian orang tua dapat memperoleh belis
yang wajar.
·
Kawin Bukang,
bentuk perkawinan levirat, berlaku anggapan bahwa sang istri setelah
perkawinannya menjadi milik suku, sehingga kalau suami meninggal istri dapat
dinikahi oleh saudara lelaki kandung atau juga dalam suku yang sama dengan
suami.
·
Perkawinan Wua
gelu, merupakan perkawinan yang dilakukan timbal balik antara dua klen. Klen
yang satu ditetapkan menjadi klen pemberi wanita dan klen yang lain menjadi
klen penerima wanita. Jenis perkawinan ini sangat ekonomis, karena mas kawin
berputar dalam klen itu.
·
Cara Bluwo,
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria beristri dengan seorang
gadis, ini terjadi secara terpaksa karena wanita sudah hamil supaya jelas bapak
dari anak yang dikandungnya.
b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka
Urusan perkawinan antara pria dan
wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu
itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar
(Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus
dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa
hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai
budayanya. Ungkapannya antara lain :
Dua
naha nora ling, nora weling
Loning
dua utang ling labu weling
Dadi
ata lai naha letto wotter
Artinya:
Setiap
wanita mempunyai nilai, punyai harga,
sedangkan
sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga,
sehingga
setiap lelaki harus membayar.
Ine
io me tondo
Ame
io paga saga
Ine
io kando naggo
Ame
io pake pawe
Artinya
:
Ibulah
yang memelihara dan membesarkannya
Ayah
yang menjaga dan mendewasakannya
Dan
ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah
memberikannya sandang.
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita
sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai
harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu
baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya
bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi
di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.
Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya
memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah
beberapa tahapan:
·
Masa pertunangan,
semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak
wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari
kuda atau tea winet (menjual anak/saudari). Seorang gadis dibelis dalam 6
bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian
kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat
rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang
(mereka yang menyiapkan pesta).
·
Perkawinan, sebelum
abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh
raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka
acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi
api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:
Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri
lai, dan suami
lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga
gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh
tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka
ungkapan-ungkapan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan
aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor. Ada beberapa tahap dari acara
perkawinan secara adat Sikka/Krowe:
1.
Kela narang,
pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua
masing-masing bersama dengan keluarga.
2.
A Wija/A Pleba,
keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama
dengan keluarga
3.
Di pihak ata dua
terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional
yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta
4.
Sebelum ke gereja
keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata
lai bertugas menjaga kamar pengatin.
5.
Tung/tama ola
uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar
masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan
nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan
6.
Weha bunga sekitar
jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata lai
menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua
pengantin.
c) Perkawinan Adat Masyarakat Ende
Proses perkawinan pada
masyarakat Ende ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Mbane ale, proses melamar oleh seorang pandai
bicara dari utusan keluarga laki-laki.
2. Ruti nata, proses peminangan secara resmi oleh
keluarga laki-laki di rumah calon mempelai wanita. Pada acara ini keluarga
laki-laki membawa ruu tau jaga tau rate, oleh orang Lio umumnya
menyebutkan sebagai bagian belis pertama.
3. Tu ngawu, mengantar belis yang telah disepakati
bersama ke rumah keluarga calon mempelai wanita.
4. Ka are denge, pria memasuki memasuki rumah orang
tua perempuan dihantar oleh keluarga laki-laki untuk pengaturan
perkawinannya.
5. Pernikahan dimulai dengan antaran yaitu:
·
Weli weki,
pembayaran untuk harga diri calon pengantin perempuan berupa lima Liwut yaitu
(gumpalan) mas, dan lima ekor hewan besar.
·
Buku berupa
balas jasa atau buku taga merupakan pembayaran untuk mama kandung
perempuan berupa seliwu seeko, selimut mas dan seekor binatang besar.
·
Buku ame kao,
pembayaran untuk bapak calon pengantin perempuan berupa mas dan seekor binatang
besar.
·
Bayar belis
untuk ata godo orang yang dulu membayar belis mamanya.
·
Belis untuk
puu kamu atau om kandung berupa hewan besar.
·
Ame ona dan
ame loo yaitu belis untuk bapak besar dan bapak kecil.
·
Terkhir belis
untuk nara saudara kandung gadis disebut jara saka tumba sau dalam Binatang dan
uang.
d) Perkawinan Adat Masyarakat Ngada
Perkawinan
di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa, dan Riung,
sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan tanpa belis,
seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca
nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekayaan klennya,
apalagi kalau cuma satu-satu putri tunggal.
Perkawinan patriachat
selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi weti, masuk minta.
Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya membawa tempat
siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada saat pesta reba,
puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya lamarannya
ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku
mebhu tana tigi, idi tua manu. Sistim perkawinannya antara lain:
·
Kawin
masuk
Kawin masuk, Perkawinan ini dapat dikatakan
menganut prinsip matrilinial.
dengan alasan utama anak wanita satu-satunya sebagai pewaris kekayaan
keluarga. Kawin masuk disebut dora rai manu atau kawo api maata pengura-
pan dengan dara ayam. Ada anggapan sementara orang bahwa kawin masuk
sebenarnya laki-laki diperbudak oleh perempuan.
dengan alasan utama anak wanita satu-satunya sebagai pewaris kekayaan
keluarga. Kawin masuk disebut dora rai manu atau kawo api maata pengura-
pan dengan dara ayam. Ada anggapan sementara orang bahwa kawin masuk
sebenarnya laki-laki diperbudak oleh perempuan.
·
Kawin keluar
Kawin keluar, jenis ini dinamai weli (belis)
sehingga hak perempuan berpindah
ke rumah suami. Hal ini terjadi di Nagekeo, Riung. Untuk kesatuan adapt Ngada
hanya di dua desa kecil yaitu Feo dan Soa. Pada sistim ini muncul juga bentuk
balas jasa untuk keluarga wanita.
ke rumah suami. Hal ini terjadi di Nagekeo, Riung. Untuk kesatuan adapt Ngada
hanya di dua desa kecil yaitu Feo dan Soa. Pada sistim ini muncul juga bentuk
balas jasa untuk keluarga wanita.
·
Perkawinan
adat
Kawin adat, adalah suatu bentuk perkawinan yang
bias disebut terang kampong.
Perkawinan ini dinyatakan syah apabila disertai acara zera (peresmian adat).
Yang dalam adat Nagekeo ialah beo sao atau teo tada.
Perkawinan ini dinyatakan syah apabila disertai acara zera (peresmian adat).
Yang dalam adat Nagekeo ialah beo sao atau teo tada.
·
Perkawian
berdasarkan atas kasta
Perkawian berdasarkan pelapisan social, jenis
perkawinan semacam ini terlarang
sekali seorang gadis dari tingkat atau golongan gae (golongan bangsawan) kawin
dengan laki-laki dari golongan yang bukan gae. Sebaliknya dari pemuda golongan gae dapat menikah dengan wanita dari golongan yang bukan gae, tetapi keturunan dari perkwinan ini tidak tergolong dalam kedudukan social dari sang ayah, melain kan lebih rendah dari sang ayah. Kejadian perkawianan laki-laki kasta bawah de ngan wanita kasta atas disebut laa sala page leko, sehingga harus dihukum dan di usir keluar kampung.
sekali seorang gadis dari tingkat atau golongan gae (golongan bangsawan) kawin
dengan laki-laki dari golongan yang bukan gae. Sebaliknya dari pemuda golongan gae dapat menikah dengan wanita dari golongan yang bukan gae, tetapi keturunan dari perkwinan ini tidak tergolong dalam kedudukan social dari sang ayah, melain kan lebih rendah dari sang ayah. Kejadian perkawianan laki-laki kasta bawah de ngan wanita kasta atas disebut laa sala page leko, sehingga harus dihukum dan di usir keluar kampung.
·
Perkawinan
atas dasar keturunan
Perkawinan menurut keturunan, disebut perkawinan
yang berdasarkan sepupu (anak om dan tante).
e) Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Perkawinan yang
paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai
adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara
pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai
suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis
biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau
dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada si keluarga pemuda sebagai
imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara keluarga
yang seperti itu, ialah antara keluarga pihak pemuda sebagai penerima gadis
(anak wina) dan pihak pemuda sebagai pemberi gadis(anak rona) adalah biasanya
amat formil.
Suatu perkawinan
adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sring juga
di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh
orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu
mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal
bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara
pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku.
Pada perkawinan tungku biasanya tidak
dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai
syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini
juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.
Suatu bentuk
perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau
atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko dilakukan dengan pengertian antar
kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbutan pura-pura untuk
menutup rasa malu atau rasa canggung bagi
keluarga yang tidak mampu membayar paca tinggi. Walaupun demikian sampai
sekarang masih ada juga perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan
pura-pura atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang
sungguh-sungguh, karena pihak si gadis tidak menyetuju dengan perkawinannya.
Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak si gadis sudah reda dan
bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan sekalian menerima
permintaan lamaran dari pihak keluarga si pemuda. Walaupun pada perundingan
yang terjadi pihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta paca yang sangat tinggi, dalam hal iti toh
tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemuda toh sudah hidup di antara
keluarga si pemuda.
Seorang pemuda yang
tidak mampu membayar mas kawin, sering juga melakukan cara lain untuk tetap
bisa mengawini gadis idamannya, ialah dengan cara bekerja pada orang tua gadis
untuk suatu jangka waktu tertentu. Bentuk perkawinan ini di Manggarai disebut
perkawinan duluk.
Perkawinan adat lain
yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang
diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal.
Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak
membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam
bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca
yang juga tinggi.
Adat menetap sesudah
niakah Manggarai pada khususnya dan di flores pada umumnya, adalah virilokal.
Adapun poligini merupakan suatu gejala yang jarang di flores, apalagi sekarang,
karena suatu persentase besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Juga pada
khususnya di Manggarai poligini dulu hanya dilakukan oleh beberapa keluarga
orang bangsawan, tetapi jarang oleh penduduk pada umumnya.
Secara
garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1) Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas
didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya
belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang
tua wanita yang telah membesarkannya.
2) Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan
oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan
orang tua dalam pemilihan jodoh.
3) Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi
karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat
dinikahkan dengan anak perempuan dari om
4) Perkawian tungku kala adalah jenis perkawinan yang
dilakukan tidak berdasarkan hu bungan dara.
5) Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis
perkawinan sororat dan levirat.
Proses perkawinan bagi
orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:
1) Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka
keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis.
Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.
2) Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu
kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek
moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.
3) Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru
bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.
4) Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak
keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.
* Upacara Kematian
Upacara
Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari dunia
ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian
berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa
tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita.
Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur.
Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian
diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran.
Upacara
waktu penguburan, tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan
perempuan disebelah timur. Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan
pesta besar-besaran dengan membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
* Upacara Pembangunan Rumah
Dalam
melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan musyawarah
yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari sebelum
upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara Maalaba
yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses
pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Dalam
pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas
pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda
tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan
kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan
mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya
diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh
atau tidaknya pembangunan rumah diteruskan.
Setelah
dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara
dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak.
Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar
berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol
bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah
adat".
* Upacara Penutupan Bulan Maria
Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil
yang dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju
gereja. Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap
kabupaten, seperti Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan
Maumere. Ini sebagai simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara
Bunda Maria. Prosesi seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.
Setelah diletakkan di atas altar,
patung Bunda Maria mendapat penghormatan terakhir. Permohonan dari perwakilan
beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Bulan Maria biasanya diperingati tiap Oktober. Pada awal dan akhir bulan
biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria oleh tiap umat Katolik di penjuru
dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut memang dikhususkan untuk
menghormati Maria.
* Upacara Iyegerek
Lamalera, berhadapan dengan Laut Sawu,
merupakan jalur migrasi paus. Dari 30 jenis cetacean–nama kolektif paus dan
lumba-lumba di Indonesia– 14 spesies di antaranya bermigrasi melewati Sawu,
yang memiliki palung. Termasuk di antaranya adalah paus biru dan paus sperm
yang langka dan paus orca, yang oleh masyarakat setempat disebut menyebutnya seguni.
Potensi ikan di Laut Sawu memang
menjanjikan. Data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut 1999
menyebutkan Sawu memiliki potensi ikan sebanyak 388 metrik ton per tahun.
Potensi itu terdiri dari ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, udang,
kepiting, dan cumi-cumi.
Warga Lamalera, dikenal sebagai
pemburu paus yang tangguh, memilih sperm sebagai buruannya. Paus hasil buruan,
menurut adat, dibagikan kepada sejumlah warga. Terutama kepada tuan tanah,
lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak buah kapal), dan pemilik perahu.
* Upacara Adat di Sampar
Upacara ini dilakukan di desa Sampar
yang berkaitan dengan perayaan atas selesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh
sarang laba-laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut
Caci, di mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata
cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan
dengan menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.
Pukulan hanya dibolehkan sekali dan
kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan
sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan sekarang menggenggam cambuk kulit.
Jarang sekali cambukan tersebut mengena karena kelihaian mengkis, tapi sekali
kena, cukup bikin kulit peserta robek. Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok
dengan pemain yang bergantian maju tampil ke gelanggang.
K.
Tempat Wisata
·
Wisata Rohani Kota Reinha
Larantuka, sebuah kota yang juga dikenal dengan
nama ‘Kota Reinha’ atau ‘Tana Nagi’ merupakan salah satu kota pusat pengembangan
agama Katolik di wilayah timur Nusantara, tepatnya di wilayah Kabupaten Flores
Timur-NTT. Selama empat abad lebih telah mewarisi tradisi keagamaan melalui
peranan kaum awam (non klerus) pada masa silam. Pengembangan agama tersebut
tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan
perkumpulan persaudaraan rasul awam (confreria), dan peranan semua Suku Semana
serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
·
Danau Kalimutu
Taman wisata Kelimutu di Ende. Danau tiga-warna,
Kelimutu berada di pulau Flores. Warna ketiga danau itu selalu berubah-ubah
dalam kurun waktu tertentu. Konon itu akibat dari perubahan aktifitas vulkanis
yang berpengaruh terhadap warna tumbuhan air semacam ganggang yang hidup
disana. Saat ini, danau yang dilukiskan berwarna merah, terlihat berwarna
kehitaman. Yang digambarkan berwarna hijau, kini lebih condong ke biru muda,
sementara yang digambarkan berwarna biru, masih tetap biru, tapi lebih pekat.
·
Taman wisata 17 Pulau di Riung Ngada
Riung 17 Pulau laksana “Surga Bawah Laut” yang belum terjamah. Kelompok
pulau ini terdiri dari pulau-pulau kecil dan pulau karang yang terbentang di
depan Teluk Riung. Alam bawah laut dari pulau-pulau ini kaya dengan
keanekaragaman hayati. Disamping itu, daerah perbukitan sekitar Riung (Pulau
Flores) dihuni oleh biawak raksasa spesifik Riung. Penduduk lokal menamakannya
“Mbou”. Bila biawak komodo disebut varanus komodoensis, maka biawak Riung
disebut juga sebagai Varanus Riungensis. Pulau kelelawar merupakan salah satu pulau yang terdapat di taman laut 17
pulau ruing.
·
Taman Nasional Komodo
Merupakan
taman yang sangat luar, dimana didalamnya hidup binatang reptil raksasa yakni
Komodo (varanus komosoesis), yang hanya ditemukan di pulau Komodo dan pulau
lain sekitarnya. Komodo termasuk binatang reptil yang dilindungi. Kawasan Taman
Nasional Komodo mencakup beberapa pulau yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau
Padar dan masih
banyak pulau-pulau
kecil lainnya.
·
Perkampungan tradisional di Ngada
Bena adalah nama sebuah perkampungan
tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini
terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa.
Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik
yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan
keaslian perkampungan tersebut.
L.
Semana Santa
Pekan Semana Santa
merupakan tradisi bagi umat katolik di Larantuka, sebuah kota kecil di ujung
pulau Flores Nusa Tenggara Timur ternyata menyimpan sejuta misteri. Ritual
religius umat katolik yang terjadi rutin setiap tahun menjelang perayaan Paskah
yang menyedot perhatian ribuan peziarah untuk datang ke kota Reinha Rosari
Larantuka itu, kini memasuki usia 5 abad pada tanggal 07 oktober mendatang.
Prosesi Semana Santa yang dirangkaikan dengan mengarak patung Tuan Menino dan
Tuan Ma hingga puncak perayaan paskah itu, masih menyisahkan sejumlah misteri
yang hingga kini masih menyisahkan banyak pertanyaan tentang sejarah Tuan
Ma.Kami coba mengulas sejarah Tuan Ma dan pekan Semana Santa yang dirangkaikan
dengan prosesi Jumad Agung setiap tahun ini.Tradisi keagamaan turun temurun
setiap menjelang Paskah yang memasuki usia 500 tahun itu, tak terlepas
dari ritual mengarak Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) yang disertai Tuan
Menino (Arca Yesus Kristus, red) mengelilingi kota Larantuka pada hari hari
Jumad Agung. Kota Larantuka sejak dulu dijuluki sebagai kota Reinha Rosari yang
merupakan tongak sejarah ditemukan patung Tuan Ma pada lima abad lalu. Reinha
Rosari adalah terjemahan dari bahasa latin yang berarti Bunda berdukacita, yang
merupakan asal mula ditemukannya Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) oleh warga
setempat. Reinha Rosari merupakan julukan bagi kota Larantuka, yang terletak
diujung timur Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Kota kecil yang berada
disepanjang kaki gunung Ile Mandiri itu memiliki sejarah tersendiri karena
merupakan kota tua tempat awal penyebaran agama Katolik di wilayah Flores oleh
sejumlah misionaris Katolik dari negara Portugis.
Reinha Rosari adalah
terjemahan dari bahasa latin yang berarti Bunda berdukacita, yang mana berasal
mula ditemukannya Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) oleh warga setempat di
pantai kuce tempat dilalui pesiarah setiap tahunnya. Umat katolik larantuka
berkeyakinan Patung Tuan Ma dihadiahkan imam Dominikan (rohaniwan katolik, red)
asal portugis bagi warga Larantuka yang baru memeluk agama katolik pada abad
ke-16. sementara versi lain menurut warga larantuka berketurunan bangsawan
mengisahkan, “patung Tuan Ma ditemukan mengapung di pantai kuce oleh warga
larantuka yang kemudian menyampaikan berita ini kepada raja yang sedang
berkuasa saat itu. Patung ini kemudian diperintahkan raja untuk ditahtakan di
puncak gunung Ile Mandiri sebelum diberikan nama. Pasca peristiwa penemuan itu,
datanglah misionaris katolik dan melihat patung Tuan Ma yang kemudian
memberitahukan kepada raja bahwa Inilah Ibu dari Yesus Kristus yang selama ini
diwartakan para misionaris katolik”. Sejak saat itulah, patung ini diberi nama
Tuan Ma dari bahasa setempat yang berarti Bunda Maria pada yang kemudian
ditahtakan pada Kapela yang hingga kini dijadikan tempat ziarah bagi umat
katolik menjelang perayaan Paskah yang dirangkaikan dengan nama Pekan Semana
Santa.Dalam pekan ziarah Semana Santa Larantuka, keturunan raja larantuka
diberi kesempatan pertama membuka pintu kapela dan mencium Tuan Ma diikuti para
Kepala Suku, Mardomu (para pendoa, red) dan para peziarah. Tempat patung Bunda
Maria atau Tuan Ma disimpan untuk melantunkan kidung-kidung pujian yang diikuti
misa ribuan jemaat dengan berlutut di depan altar sambil menyalakan sebaris
lilin. Sebelum memasuki prosesi perarakan patung keliling kota Larantuka pada
hari Jumad Agung, pekan semana santa itu diawali sejak hari rabu yang disebut
Rabu Trewa atau rabu terbelenggu untuk mengenang Yesus Kristus kala dikhianati
Yudas Iskariot dan dibelenggu tentara romawi kemudian diseret mengelilingi kota
Nazareth. Pada malam rabu trewa, warga di luar kapel membunyikan berbagai
peralatan untuk menggambarkan kegaduhan dengan memukul tutupan kaleng atau
menyeret sehelai seng untuk mengenang kegaduhan saat Yesus diarak.
Usai Rabu Trewa, ritual
berikutnya adalah perayaan hari kamis putih yang ditandai dengan kegiatan tikam
turo atau memasang tiang-tiang tempat lilin sepanjang jalur jalan yang akan
dilewati selama prosesi Jumad Agung mengarak patung Tuan Ma dan Arca Yesus
keiling kota Larantuka dengan berdoa da melantunkan lagu sedih tanda
perkabungan wafatNya Yesus Kristus. Usai kegiatan tikam turo, umat
berduyun-duyun menuju Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana (arca Yesus, red) untuk
mengikuti upacara Munda Tuan. Munda Tuan merupakan acara memandikan patung Tuan
Ma. Saat inilah diyakini warga larantuka, orang tertentu akan diselimuti
keharuan ketika mengenakan Opa atau jubah putih perlambang kesucian. Mereka
adalah orang-orang pilihan yang mendapat anugerah untuk memandikan patung Tuan
Ma. Suatu Ritual kuno dalam ruangan yang telah dijaga kerahasiaann selama 5
abad ini. Tak semua orang bisa mengikuti acara munda tuan, namun hanya sosok
yang dianggap bijaksana dan pernah terpilih sebagai pengurus konferia.
Merekapun harus bersaksi dibawah sumpah Kristus untuk merahasiakan pengalaman
yang dialami sepanjang ritual karena diyakini dapat menemui ajal jika membuka rahasia
itu.
Ritual pun terus
dilanjutkan pada hari Jumad pagi atau jumad agung mengenang hari kematian
Yesus. Ribuan peziarah yang datang dari segala penjuru dunia berkumpul di
Kapela Tuan Menino di kota rowido Lingkungan sarotari untuk menggelar misa pertama
menyembah Tuan Menino (Arca Yesus, red) yang ditemukan terdampar di pantai
berabad silam. Patung yang disemayamkan di sebuah peti mati itu kemudian diarak
dengan bhero (perahu, red) khusus yang dikayuh dengan pengayuh tanpa mesin
melalui laut dari kapela Tuan Menino ke pantai kuce di pusat kota, tempat
ditemukan mengapungnya patung Tuan Ma 5 abad silam. Tak berlebihan, namun kala
itu awan menggantung setiap tahunnya di tempat dilaluinya arak-arakan arca
Yesus bersama ribuan peziarah yang menggunakan puluhan kapal. Sementara para
peziarah yang tidak kebagian kapal, biasanya berjalan kaki dan menggunakan
kendaraan melalui jalan daart sepanjang pantai menuju ke pantai kuce yang terus
melantunkan doa dan kidung pujian.
Tiba di pantai Kuce, peti
Tuan Menino kembali diarak sampai ke armida atau tempat persinggahan patung
yesus dan Bunda Maria pada jalur prosesi Jumad Agung. Saat itu ribuan warga
terlihat larut dalam berbagai ujud khusus, dengan berjalan menuju kapela Tuan
Ma untuk menghantar patung Bunda Maria ke gereja katedral Larantuka. Prosesi
Jumad Agung yang mengukuhkan Larantuka sebagai kota Reinha Rosari ini belum
selesai. Pada pukul 19.00 waktu setempat, ribuan umat katolik Larantuka dan
para peziarah berkumpul di halaman gereja katedral untuk mengarak patung Bunda
Maria atau biasa disebut Tuan Ma bersama Arca Yesus keliling kota yang
melambangkan perjentian jalan salib yesus dari kelahiran hingga kematian.
Suasana hening disaat menyinggahi 8 perhentian untuk mendengarkan ovos atau
lagu pilihan bahasa latin. Prosesi mengarak patung Tuan Ma (Bunda Maria, red)
dan Tuan Ana (arca Yesus, red) berlangsung hingga sabtu dinihari karena
banyaknya peziarah yang mengikuti prosesi ini setiap tahunnya. Kesaksian
sejumlah peziarah yang sebelumnya datang dengan ujud khusus, selalu terkabulkan
sehingga setiap tahunnya jumlah peziarah meningkat karena selalu datang kembali
untuk mengucapkan syukur.
Kota Larantuka biasanya
dipadati para peziarah sejak hari selasa yang mulai berdatangan dari seluruh
penjuru dunia untuk mengikuti prosesi Semana Santa selama sepekan ini. Para
peziarah biasanya ditampung pada rumah-rumah warga setempat, sehingga tak perlu
terlalu banyak biaya penginapan untuk para tamu. Warga Larantuka yang masih
kental dengan budaya Lamaholot itu dengan ramah menerima semua tamu yang ingin
numpang nginap serta memberikan penjelasan seputar informasi kegiatan. Selain
itu, para tamu juga biasanya diarahkan untuk mendaftar ke panitia perayaan di
gereja Katedral Larantuka untuk memperoleh tanda pengenal dan buku panduan
kegiatan. Untuk mengikuti prosesi pekan Semana Santa yang mengarak Tuan Ma dan
Tuan Menino keliling kota Larantuka itu tak perlu merabah kocek yang banyak
selama berada di kota Larantuka karena kehidupan warga masyarakat yang ramah
membuat semua tamu merasa betah.
Itulah
sekian kisah mengenai Flores. Kebudayaan Flores yang unik mulai dari upacara
perkawinan sampai prosesi Jumad Agung atau Semana Santa di Larantuka, adalah keanekaragaman
serta kekayaan budaya tersendiri bagi bangsa ini.
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar. Presiden Proklamator kita, Presiden
Soekarno pernah berkata bahwa: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau
istilahnya “JASMERAH”. Sejarah itu
termasuk salah satunya adalah menyangkut peninggalan nenek moyang kita yang
harus kita pelajari, hayati, maknai, dan tentunya kita lestarikan. Mulailah
usaha ini dari hal-hal yang kecil, misalnya menyanyikan lagu daerah, dsb
sebagai salah satu bentuk cura minimorum dalam menjaga kebudayaan bangsa menuju kemuliaan bangsa ini.
Semoga coret2an ini berguna bagi semua pihak dan bisa menjadi bahan referensi bagi para
pembaca yang budiman dalam rangka terus memperkaya khasanah budaya yang ada di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Memang semua langkah
pelestarian budaya harus dilakukan oleh semua pihak, mulai dari Pemerintah
sendiri, masyarakat, pelajar, dan semua orang yang hatinya berisikan cinta bagi
pelestarian kebudayaan di negara ini.
ZONA FOTO
alat musik suling |
alat musik foy pay |
alat musik pere |
alat musik foy doa |
kain tenun setiap kabupaten |
kain tenun |
makanan khas ayam bumbu rendatapa |
makanan khas Ikan Bakar Ende Flores |
makanan khas ikan kuah belimbing |
pakaian adat ende |
pakaian adat ngada |
pakaian adat sikka |
pakaian adat nagekeo |
pakaian adat manggarai |
rumah adat |
rumah adat |
rumah adat |
Upacara Semana Santa |
Upacara Semana Santa |
Upacara Semana Santa |
Upacara Semana Santa |
seni anyam bele raga |
seni anyam kadhengga |
seni anyam kata |
seni anyam mbola-mbola |
seni anyam tikar |
seni anyam wuwu |
seni bela diri |
seni bela diri |
seni tembikar |
senjata tradisional sundu |
tari gawi |
tari ja'i |
tari manunggo |
tari leke |
tari nahang tanang |
tari poto wolo |
tari sanggu alu |
tari toda gu |
tari wojo rana |
Tempat wisata danau kelimutu |
aman |
Tempat wisataTaman Laut 17 Pulau Riung |
Upacara adat iyegerek |
SEKIAN
bagus dan detail sekali kk, aku suka postinganNya.. terima kasih telah menambah wawasanku tentang NTT..
BalasHapuswow,, lengkap sekali, terimakasih infonya ya. ditunggu info terbaru dari Flores
BalasHapusK SAYA SALUT DENGAN INFO FLORES YANG BAIK SEKALI TAPI SAYA USUL KALAU DAPAT TAMBAH JUGA DATA TENTANG UPACRA ADAT MENANAM JAGUNG.....TRIMAH KASIH....
BalasHapusok makasih kk atas usulannya.
HapusMaaf baru balas karena sibuk belakangan ini.
Siap nanti saya cari referensinya dulu, kebetulan sekarang su di Flores nihh
Makasih atas infonya, sangat membantu sekali untuk tugas sekolah
BalasHapussippp silahkan dinikmati.
HapusTapi klo bisa, dicantumkan sumber referensi saat pembuatan tugas sekolahnya hehe
Luar biasa lengkap.
BalasHapusSukses terus bang....
Boleh di share ya ?๐
Boleh dishare sambil tetap mencantumkan sumbernya ya ๐๐๐
Hapus