Sabtu, 14 Februari 2015

MENGENAL PULAU FLORES DAN KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKATNYA

Coret2an ini terdiri atas 4 bagian: 1.) Pendahuluan 2.) Seputar Flores 3.) Penutup 4.) Zona Foto Buat yang Haus..
Semoga bisa menjadi bahan referensi anda2 skalian yang ingin mengenal lebih dalam tentang Flores dengan keanekaragaman budaya masyarakatnya.
Mata sudah ngantuk, sejak semalam belum tidur.
Wassalammmmm Pamit tidur dulu
Selamat malam dan tetap Forza




PENDAHULUAN

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terbentuk pada tahun 1958. Sebelumnya, Provinsi NTT merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara yang wilayahnya mencakup Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan NTT. Pembentukkan provinsi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958.Nenek moyang penghuni NTT beraneka ragam. Beberapa ahli memperkirakan bahwa nenek moyang orang NTT berasal dari ras Astromelanesoid. Hal ini dibuktikan dengan penemuan kerangka manusia yang diperkirakan berasal dari ras terebut dan berusia sekitar 3.500 tahun. Beberapa kerangka lain yang ditemukan memiliki ciri-ciri ras yang beraneka ragam, seperti dari ras Mongoloid, campuran antara Mongoloid dan Astromelanesoid, Eropoid, dan Negroid. Hal ini menunjukkan keanekaragaman penghuni pertama NTT.
 Pada masa pra sejarah, penduduk hidup berpindah-pindah karena menggantungkan hidupnya pada perburuan binatang. Mereka berpindah mengikuti arah gerak binatang-binatang buruannya. Ketika bercocok tanam mulai menjadi cara hidup penduduk, mereka tidak sepenuhnya menetap. Kadang-kadang mereka berpindah-pindah yang biasanya disebabkan oleh kedatangan penduduk baru yang lebih kuat. Yang tersingkir biasanya pindah ke daerah pedalaman.
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air Terjun Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air Panas Liasembe dan sebagainya. Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat kurang.
Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan.




SEPUTAR FLORES
Flores, land of my fathers'

I. KEBUDAYAAN FLORES


A.    IDENTIFIKASI FLORES
SEJARAH FLORES
Nama Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini

sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.

B. Wilayah Geografis   
Pulau Flores adalah salah satu pulau dari deret kelompok-kelompok kepulauan yang merupakan wilayah dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah itu terdiri dari kepulauan Flores, Sumba, kelompok kepulauan Timor dan dari kepulauan Tanimbar. Kelompok kepulauan Flores terdiri dari pulau induk ialah pulau Flores yang dikelilingi oleh pulau Komodo, Rinca, Ende, Solor, Adonara, dan Lomblem. Daerah Pulau Flores meliputi delapan kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur.
Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor.Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi. Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi.

C. Penduduk dan Lingkungan Masyarakat
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Penduduk Flores  terdiri dari delapan sub suku bangsa dan di antara mereka yang mempunyai logat-logat bahasa yang berbeda. Sub-suku bangsa itu antara lain :
1.      Orang Manggarai
2.      Orang Riung
3.      Orang Ngada
4.      Orang Nage-Keo
5.      Orang Ende
6.      Orang Lio
7.      Orang Sikka
8.      Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan sub-suku bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio, dan Sikka tidaklah begitu besar. Namun perbedaan antara kebudayaan tersebut dengan orang Manggarai sangatlah besar. Juga dipandang dari ciri-ciri fisiknya ada suatu perbedaan yang amat mengesankan. Penduduk orang Flores mulai dari orang Riung makin ke timur makin menunjukkan lebih banyak ciri-ciri Melanesia, seperti penduduk Irian, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun sub-suku bangsa Larantuka berbeda dari yang lain, karena mereka lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku bangsa Indonesia yang datang dan bercampur di kota Larantuka. Adapun mengenai kebudayaan Flores ini, data-datanya kebanyakan diambil dari kebudayaan orang Manggarai.
D. Pola Perkampungan
 Riwayat Perkampungan Tradisional
 Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua Ethnis ini membangun rumah dan perkampungan adat telah menggunakan teknologi dan arsitektur tersendiri  sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan karya seni budaya di zamannya.
 Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradapan modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua ethnis dalam suatu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan penelitian para pakar bangunan.
 Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti KEDA, KANGA, TUBU MUSU merupakan warisan leluhur, walaupun di beberapa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu, dan ulah manusia, namun demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat yang memeiliki tradisi tersebut adalah kampung–kampung tradisional yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti, Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Puu’tuga, dll.
Desa-desa di Flores (Beo di Manggarai) dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan suatu lingkungan dengan tiga bagian, yaitu depan,tengah,belakang. Walaupun pada masa sekarang susunan kuno itu sering sudah tak diperhatikan lagi, namun sisa-sisanya masih tampak pada desa-desa flores zaman sekarang juga.
Di Manggarai misalnya masih ada sebutan khusus untuk bagian depan dari desa ialah pa’ang, bagian tengah ialah beo(dalam arti khusus) dan bagian belakang adalah ngaung. Dulu di tiap bagian rumah ada tempat-tempat keramat, yang berupa timbunan batu-batu  besar dan yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Pada masa sekarang, biasanya  masih ada paling sedikit satu tempat keramat serupa itu di tengah-tengah lapangan tengah dari desa. Tempat keramat itu biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida bertangga dengan beberapa batu pipih tersusun seperti meja di puncaknya. Seluruh timbunan itu yang disebut kota, dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu itu biasanya ada bangunan balai desa yang juga bersifat keramat dan yang disebut mbaru gendang, karena di dalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat.
Desa-desa kuno dari orang Ngada, biasanya juga mempunyai lapangan pusat dengan di tengah-tengahnya timbunan batu-batu berupa suatu panggung dari batu yang disebut terse. Di atas panggung itu ada beberapa batu pipih yang juga disusun seperti meja atau seperti sandaran (watu lewa ). Di bagian depan dari desa-desa Ngada, sering kali ada tiang pemujaan nenek moyang dari batu (ngadhu) sedangkan di hadapan tiang batu itu biasanya ada sebuah rumah pemujaan kecil (bhaga).
Desa-desa di Flores zaman dahulu selalu dikelilingi dengan sebuah pagar dari bambu yang tingginya dua sampai tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi lagi secara padat dengan tumbuh-tumbuhan belukar yang berduri. Pada masa sekarang sudah banyak yang desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki bukit. Sifatnya lebih terbuka, pagar sering tidak ada lagi, sedangkan pola perkampungan berbentuk lingkaran-lingkaran di banyak tempat juga sudah ditinggalkan.
    E. Perekonomi dan Mata Pencaharian
Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata Indonesia, dengan tingginya inflasi (15%), pengangguran (30%) dan tingkat suku bunga (22-24%).
Mata pencaharian hidup yang utama dari orang Flores adalah bercocok tanam di ladang. Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya bekerjasama dalam hal membuka ladang di dalam hutan. Aktifitas itu terdiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah, menebang pohon dan membakar daun-daun, batang-batang, dan cabang-cabang yang telah dipotong dan ditebang. Kemudian bagian hutan yang dibuka dengan cara tersebut dibagi antara beberapa keluarga luas yang telah bersama-sama membuka hutan tadi. Selanjutnya sisa-sisa batang-batang pohon yang tidak terbakar atau yang hanya setengah terbakar, diseret dan disusun agar menjadi pembatas antar ladang yang satu dengan ladang yang lain. Dari atas sekelompok ladang-ladang itu akan terlihat seperti sarang laba-laba. Tanaman pokok yang biasanya ditanam di ladang tersebut adalah jagung dan padi.
Diberbagai tempat di Flores atas anjuran pemerintah, penduduk juga sudah mulai bercocok tanam dengan bantuan irigasi di sawah-sawah. Di daerah ngada misalnya, bercocok tanam di sawah sudah dimulai selama lebih dari 30 tahun yang lalu. Walaupun demikian bercocok tanam di ladang masih banyak dilakukan di Flores.
Kecuali bercocok tanam di ladang, beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian yang penting di Flores pada umumnya. Binatang yang terpenting adalah kerbau. Binaang ini sebenarnya tidak dipelihara untuk tujuan ekonomis, melainkan untuk misalnya membayar mas kawin, untuk disembelih dan dikonsumsi pada saat acara-acara tertentu, misalnya pada saat upacara adat, dan yang tak kalah penting yaitu untuk lambing kekayaan serta gengsi.
Binatang piaraan lain yang tak kalah penting adalah kuda. Kuda ini diternakkan guna dipakai untuk dimanfaatkan tenaganya untuk memuat barang-barang. Disamping itu kuda juga sering dipakai sebagai harta mas kawin.
Kerbau dan kuda biasanya dimasukkan di kandang umum milik desa, dan digembala di padang-padang rumput yang juga milik umum (milik desa). Adapun biasanya kuda-kuda itu dibiarkan berkeliaran di padang rumput sepanjang hari, siang dan malam, hanya kalau sedang dibutuhkan maka ditangkaplah salah satu, kemudian setelah selesai digunakan, maka akan dilepaskan kembali.
Untuk pemeliharaan babi, kambing, domba, atau ayam, dilakukan di pekarangan rumah dan di manggarai dan pada malam hari binatang-binatang piaraan itu dimasukkan dikolong-kolong rumah.

F.      Sistem Kekerabatan
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada Masyarakat Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.
Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali
Sejumlah kilo biasanya merasakan diri terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi ke atas. Suatu klen kecil atau minimal lineage memiliki beberapa nama lain, diManggarai disebut panga dan di Ngada disebut ilibhou.
Warga suatu panga atau ilibou tidak selau terikat oleh hubungan kekerabatan yang nyata. Hal itu karena sering sekali ada panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang menjadi kecil, akibat kematian, manggabungkan diri dengan panga atau ilibhou yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu merupakan kesatuan dalam hal melakukan upacara-upacara berkabung atau upacara pembakaran mayat nenek moyang, atau upacara mendirikan batu tiang penghormatan roh nenek moyang. Sekarang kesatuan kekerabatan itu hampir tidak berfungsi lagi, kecuali sebagai pemberi nama kepada warga-warganya.
Panga dan ilibhou menjadi bagian dari klen-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di Ngada. Dulu wa’u an woe membanggakan diri akan adanya suatu complex unsur-unsur adat istiadat dan sistem upacara yang khas, yang saling pantang bagi yang lain, sedangkan banyak diantara wa’u-wa’u atau woe-woe yang terkenal ada yang memiliki lambang binatang atau totem yang mereka junjung tinggi. Sekarang sebagian besar dari unsur-unsur adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang totem yang khusus itu sudah hilang atau dilupakan
Masyarakat Ngada terdiri dari empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekerabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekerabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha).
Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Suku Ngadha mengenal beberapa kelompok kekerabatan dari yang terkecil berupa keluarga inti sampai pada kelompok klen besar. Pembagian kelas pada struktur masyarakatnya hampir sama sebagaimana masyarakat lain di tanah air. Penggolongan suku Ngadha berdasarkan keluarga batih ( primary family ) yang terdiri dari ayah,ibu, anak-anak yang belum menikah disebut dengan sa"o.
Beberapa keluarga inti membentuk keluarga gabungan yang disebut sippopali. Sippopali (kesatuan keluarga) terdiri dari satu rumah pokok (sao puu) dan didampingi oleh rumah cabang (sao dhoro) yang berasal dari rumah pokok. Dikarenakan keterkaitan dengan sistem kekerabatan patrilineal, beberapa sippopali membentuk klen kecil (illibhou) dari klen besar yang dipimpin oleh seorang pemimpin dengan status ulu woe.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Pada masyarakat manggarai, pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan Manggarai antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
G.    Sistem Kemasyarakatan
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-glarang, pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak ada lagi, adalah dulu
  1. orang-orang yang ditangkap dalam peperanagn, baik dari sub suku bangsa sendiri, maupun  dari suku bangsa lain atau pulau lain
  2. kecuali itu orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar lagi hutang mereka
  3. dan akhirnya orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.
Secara lahir perbedaan antara gaya hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para bangsawan pun mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.
Pada masa sekarang pendidikan sekolah telah menyebabakan timbulnya suatu lapisan sosial baru, yang terdiri dari orang-orang pegawai, guru, atau pendeta, sedangkan akhir-akhir ini ada pula beberapa putra flores dengan pendidikan universitas yang tergolong lapisan sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah.


H.    Sistem Religi
          Keyakinan (religi) terhadap 'Yang Maha Tinggi' merupakan unsur maha penting dalam berbagai kehidupan sehari-hari. Mulai dari bercocok tanam (berladang) hingga perkawinan.
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.
Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang.  Di samping itu, unsur-unsur  historis,  yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu  menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
            Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO
KABUPATEN
WUJUD TERTINGGI
MAKNA
1.
2.
3.

4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka

Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan

Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit di atas

Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.

Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO
KABUPATEN
NAMA TEMPAT
KETERANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Nuba Nara [1]
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva - Vatu Meze
Compang – Lodok
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir

Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritual persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores.
Sedangkan di masyarakat Ngada, ditemukan beberapa menhir. Fungsi menhir ini sebagai petunjuk kubur dan pada batu tersebut diabadikan nama – nama mereka yang menunjukkan sekumpulan menhir yang berasosiasi dengan dolmen. Di samping itu fungsi menhir juga digunakan sebagai tanda jumlah musuh yang terbunuh dalam peperangan. Keberadaan bangunan-bangunan pemujaan sangatlah terkait dengan kehidupan religi dan kepercayaan masyarakat Ngada walaupun pada umumnya masyarakat Ngada pada waktu sekarang sebagian besar memeluk agama Katolik. Dengan masuknya ajaran Katolik yang membawa pengaruh pada kehidupan religi mereka, terjadilah akulturasi budaya tanpa meninggalkan dogmatis ajaran Katolik. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci dimana bersemayam arwah nenek moyang, direfleksikan dengan adanya bangunan berundak, tetapi pada saat ini adanya akulturasi budaya yang tercermin dari arah hadap tanda salib pada kubur orang katolik yang memperlihatkan kearah gunung.
I.       Produk Budaya
a). Rumah Adat
Rumah tradisional Flores telah lama menjadi perhatian para peneliti dari luar Indonesia. Menurut para ahli itu rumah tradisional dikategorikan dalam boat communities karena adanya kemiripan dengan bentuk tertentu dari bagian perahu, seperti beberapa rumah tradisional Flores di Lio Moni,Ende dan Manggarai.
Rumah tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari alang-alang merupakan pusat kegiatan masyarakat tradisional. Mulai dari tidur sampai memasak dilakukan di dalam rumah. Hal tersebut disimbolkan dalam bentuk tiang rumah yang disebut dengan ni ainaf atau tiang feminin. Tiang lainnya disebut hau monef atau tiang maskulin.
Rumah tradisional ini dilengkapi dengan tempat persembahan yang disebut dengan hau monef. Rumah tradisional ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di Alor disebut tofa dan di Ende disebut dengan saoria. Biasanya hanya keluarga inti yang menempati rumah tradisonal ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa rumah tradisional yang terdapat di Lio Moni, daerah dataran tinggi yang jauh letaknya dari laut, serta tidak mempunyai sejarah maupun legenda yang menunjukkan hubungan dengan laut atau perahu, hanya mempunyai kemiripan dengan perahu dalam hal bentuk saja. Hal tersebut terjadi bukan karena adanya hubungan dengan budaya laut. Sedangkan pada rumah tradisional di daerah pesisir, ditemukan adanya legenda tentang nenek moyang mereka yang memang dahulu adalah pelaut.
Pada masyarakat demikian memang ada pencitraan perahu, misalnya yang nampak pada bentuk dan penamaan bagian-bagian tertentu rumah, penyebutan tokoh pemuka kampung yang diambil dari sebutan yang dikenal di perahu, keletakan serta orientasi kampung yang meniru perahu.
Konsep rumah adat orang Flotim di Flores Timur selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
Rumah tradisional di Ngada disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Tampak gambar rumah adat masyarakat Ngada yang disebut Sa’o.
 b). Pakaian Adat
Pakaian tradisionil di daerah flores mengenal 2 (dua) jenis pakaian yaitu pakaian yang dikenakan kaum laki dan wanita. Pada masyarakat Lama Holot pakaian wanita disebut Kwatek dan pria disebut Howing. Pakaian wanita di Manggarai, mengenakan mahkota dengan berbagai bentuk. Sedangkan kaum prianya mengenakan destar.
c). Senjata Tradisional
Ciri khas senjata tradisional masyarakat Flores disebut Subdu atau Sudu, profilnya seperti keris sebagai senjata tikam yang dianggap keramat.
Senjata tradisional dari Adonara, sebuah pulau kecil di timur Flores, yang sarat dengan cerita tentang pembunuhan atas nama harga diri dan kemanusiaan. Senjata ini memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan senjata dari zona lain, ukurannya yang teramat panjang, juga gagangnya yang terbuat kshusus dari tanduk kambing menjadikan senjata ini lebih garang dan bernuansakan aroma mistik. Zaman dahulu bahkan sampai kini, senjata inilah yang menjadikan pulau kecil ini sesangar namanya adonara, yang kadang diplesetkan menjadi Adu darah.
d). Peninggalan Megalitikum
Di Kabupaten Manggarai, sisa-sisa tradisi megalitik ataupun monumen megalit yang tidak berfungsi lagi, juga dijumpai hampir di setiap desa. Salah satu diantaranya adalah monumen megalit yang berbentuk susunan batu temu-gelang (circle) yang berfungsi sebagai kubur para tetua, pemuka adat dan tempat melaksanakan berbagai upacara. Menurut tradisi setempat, monumen yang terletak dua kilometer di sebelah Kota Ruteng, disebut compang. Rumah-rumah di atas tiang, didirikan di sekeliling monumen tersebut.
Di desa Warloka, desa paling barat Manggarai, ditemukan pula sejumlah besar monumen Megalit, baik yang masih in-situ (asli) maupun yang sudah terganggu (disturbed). Pada umumnya yang berbentuk menhir dan dolmen yang berasosiasi dengan benda gerabah atau keramik (utuh dan pecah), benda-benda gerabah (gelang, cincin, kelad lengan, bandul, cermin, bandul kalung dan sebagainya). Pada umumnya tingkat kesukaran situs-situs upacara/pemujaan di Warloka ini sangat tinggi.
Peninggalan dan sisa-sisa tradisional megalitik di Flores juga ditemukan di Ende-Lio, Sikka dan Flores Timur.
e). Tarian Masyarakat Flores                                                                                        1. Tarian Leke, asalnya dari daerah Sikka Asal tarian : Kabupaten Sikka
Tari ini mengambarkan pesta para masyarakat etnis Sikka Krowe sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan. Biasanya ditarikan pada waktu malam hari yang diiringi musik gong waning dengan lantunan syair-syair adat.
            2. Tarian Poto Wolo, asalnya dari daerah Ende                                                    Fungsi tari ini biasa digunakan untuk menjemput para tamu agung, atau seorang kepala suku yang diangkat secara adat. Poto artinya mengangkat atau menjunjung kebesarannya; Wolo artinya gunung  atau bukit.
3.Tarian Wasa Wojorana, asal dari daerah Manggarai                          
Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara adat menjelang padi lading menguning.Wasa Wojarana menggambarkan luapan rasa gembira , dengan melihat bulir-bulir padi lading yang menjanjikan dan sebagi ungkapan terima kasih kepada pencipta dan sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam dan ancaman hama. Tarian ini ditampilkan ditampilkan dengan irama pelan dan cepat .
4. Tarian Todagu, asal dari daerah Ngada
Todagu menggambarkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang dan membangkitkan semangat patriotisme. Tarian ini diiringi oleh bambu dan tambur.
5.    Tarian Sangga Alu, asal dari daerah Ende
            Tarian Sangga Alu merupakan tarian yang biasa ditarikan tarikan untuk bersukur atas hasil panen.
6.           Tarian Ja’I, asal dari daerah Ngada  
Tarian Ja'I merupakan tarian perang, tarian ini dilakukan setelah menyelesaikan peperangan.tarian ini berasal dari daerah Ngada.
7.      Tarian Perang
Tarian perang ialah tarian yang menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata.
8.      Tari Garong Lameng
Sebuah tarian yang dipertunjukan pada upacara Khitanan.
9.      Tari Cerana
Tari Cerana merupakan tarian upacara penyambutan tamu dengan membawa tempat sirih.
10.   Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya.
11.   Wanda/ Toju Paรผ
Tarian massa penampilan secara perorangan/ individual dalam suatu acara, biasanya menari dengan selendang diiringi dengan musik Nggo wani/ Lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu Ana Noรถ, demikian sebaliknya Ana Noรถ memberi selendang kepada ada eda/ bele untuk menari
12.  Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau mengantar sarana paร„ loka/ sesajian atau para tamu dan lain-lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama dari setiap daerah di Ende Lio diantaranya yaitu : Napa Nuwa - Poto Wolo - Poto Pala - Wanda Pala - Goro Watu/ Kaju dll. Tarian Neku Wenggu biasanya diiringi dengan lagu Wenggu
13.  Tarian Joka Sapa
Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti tarian Manu Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/ penari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/ lagu gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir Pantai Ende Selatan/ Utara dengan berbagai nama tarian seperti : Tarian Nelayan - Tarian Irikiki - TarianGetu Gaga - Tarian Manusama - Wesa Pae dll.
14.  Tarian Mure
Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/ gadis dari keluarga mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini dengan kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik pengiringnya yaitu Nggo Wani/ Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.
15.  Jara Angi
Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling populer disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang terbuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda.
Tarian ini diawali dengan atraksi lomba pacuan kuda dilanjutkan dengan menari bersama diiringi dengan lagu Ruda Rudhu Redha dengan musik gendang atau Nggo Wani/ Lamba. Keunikan dari tarian ini yaitu para penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan not atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.
16.  Tarian Pala Tubu Musu
Penari terdiri dari para ibu/ gadis dari setiap keluarga Mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-laki sebagai penari woge untuk upacara Paรค Loka atau memberi sesajian di Tubu Musu. Untuk mengiringi tarian ini yaitu, musik/ lagu Nggo Wani/ Lamba dan Nggo Dhengi dan bagian akhir dari tarian ini dengan gawi/ naro atau tandak.
17.  Tarian Dowe Dera
Tarian Dowe Dera ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan upacara ritual adat di tempat Mopo (ditengah-tengah ladang). Penari laki-laki dengan musik gaku, membuat lubang pada tanah, sedangkan para ibu/ gadis mengisi bibit tanaman yang sudah dilubangkan.
Tarian ini diiringi dengan lagu Dowe Dera disertai musik Gaku yang terbuat dari bambu (lihat musik gaku) dan penarinya dilengkapi dengan pakaian adat serta aksesorisnya.
18.  Tarian Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan, penari terdiri dari para pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau atau perisai dan pedang / parang.
Tarian ini diawali dengan Neku Wenggu, dilanjutkan dengan Bhea dan woge serta Ruรผ atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/ wani dan Lagu Da seko.
19.         Tarian Ule Lela Nggewa
Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ulu lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, pada jaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya.
Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa.
20.  Tarian Topeng Bobu
Tarian Bobu adalah salah satu dari sedikit tarian adat Sikka yang para penarinya mengenakan topeng wajah yang memperlihatkan aneka ekspresi. Pada awalnya Tarian Bobu ditari sebagai tarian perang, yang ditarikan untuk menggelorakan semangat tempur para prajurit dan ketika menyambut para pahlawan sekembali dari medan laga.
Dalam perkembangannya kemudian, Tari Bobu mendapatkan pengaruh dari budaya bangsa Portugis. Saat ini, Tarian Bobu dianggap khas dari Desa Sikka dan kerap ditampilkan untuk menyambut tamu.
21.  Tari Higimitan
Sebuah tari yang menggambarkan rasa kasih sayang antara dua ikatan pria dan wanita.
22.  Tari Kataga
Tari Kataga merupakan tarian bagian dari upacara ritus, yaitu upacara penyambutan terhadap arwah nenek moyang.
23.  Tarian Laba Sese
24.  Tarian Gawi
Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
Dalam komposisi bentuk gawi ada bagian -bagiannya yaitu :
§ Eko Wawi - Sodha
§ Sike - Ana Jara
§ Naku Ae Wanda Pau
§ Ulu
Susunan dalam Gawi dalam setiap penampilam adalah sebagai berikut : Mega Rema Ba-Oro e-Sodha-Ndeo Oro.Waktu dan jumlah peserta tari gawi / naro tidak ditentukan dan tarian ini biasa diadakan di Koja Kanga pada acara Nggua / seremonial adat, bagi peserta gawi diwajibkan ikut bernyanyi pada bagian oro.
25.  Tarian Nahang Tanang, berasal dari daerah Flores Timur
Tarian ini brasal dari Flores Timur. Namang = Hentakan Kaki yang berirama. Tahang = Padi. Tarian rakyat ini menggambarkan pemisahan gabah padi dari bulirnya yang kemudian disimpan dalam lumbung padi


26.  Tarian Kuku Manunggo, berasal dari daerah Sikka
Tari koko manunggo berasal dari Sikka. Koko = Ayam berkokok sedangkan Manunggo = petani bekeja dipagi buta
arti dari tari ini adalah para petani bekerja gotong royong dengan semangat membersihkan ladang siap tanam yang diiringi gerak pacul dan lagu.
27.               Tarian Toja, berasal dari daerah Ende ialah kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi
28.   Tarian Wanda, berasal dari daerah Ende ialah Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu dalm suatu kelompok atau perorangan.
29.       Tarian Wedho, berasal dari daerah Ende ialah Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan melompat sedangkan Woge merupakan Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang /parang.
f). Kesenian Bela Diri
Kesenian Bela Diri berupa Larik dan Pencak Silat di kecamatan Riung Etu/ Sagi Sudu di kecamatan Boawae, Soa di kecamatan Bajawa, Golewa, Nangaroro, dan Aesesa.
g). Seni Tembikar
Seni tembikar atau tanah liat/ taki yang sudah terkenal di Kabupaten Ende yaitu Lise - Wolowaru dan Wolotolo - Detusoko dimana hasil kerajinannya telah memenuhi kebutuhan masyarakat Kabupaten Ende dan sekitarnya dalam hal perkakas dapur.
Adapula di tempat-tempat lain membuatnya, tetapi hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri, kerajinan tembikar seakan-akan hilang karena kalah bersaing dengan barang-barang import. Pengolahan bahan baku tembikar yaitu dari tana taki atau tanah liat, ditumbuk halus, diremas-remas dengan air hingga merekat, dibentuk dan dikeringkan lalu dibakar dengan api. Beberapa macam jenis seni tembikar diantaranya yaitu:

-         Podo
Periuk berbentuk bulat dengan permukaan mulut bergerigi, gunanya untuk memasak nasi, jagung, singkong dll.
-         Sewe
Bentuknya hampir sama dengan periuk, hanya mulutnya lebih lebar dan ada juga dilengkapi dengan telinga digunakan untuk memasak lauk pauk dll.
-         Paso
Bentuknya bulat lonjong dilengkapi dengan lingkaran pinggir kaki, digunakan sebagai tempat penampung lauk pauk yang sudah dimasak juga digunakan tempat merendam tarum/ taru menjadi nila.
-         Kawa
Bentuknya bulat ceper dilengkapi dengan telinga, digunakan sebagai tempat penggorengan dan memasak lauk pauk dan masakan lainnya.
-         Kumba
Periuk besar berbentuk lonjong dengan bagian dasarnya rata digunakan sebagai tempat air minum dan tuak/ moke. Permukaannya dibuat ukiran garis dan binatang ampibi/ reptil.
-         Nggusi
Ukurannya lebih kecil dari kumba, bentuk dan kegunaanya sama seperti kumba.
-         Pane
Bentuknya seperti piala minuman, dihiasi dengan ukiran bergaris lurus dan silang memenuhi lingkaran, digunakan sebagai tempat nasi atau lauk/ piring makan.
-         Bha
Bentuknya ceper seperti piring makan, dibagian dasar dengan lingkaran timbul digunakan sebagai piring makan dan lain sebagainya.
-         Piri
Bentuknya seperti bha/ piring hanya ukurannya lebih kecil, digunakan sebagai tempat tatakan minuman dan tempat sambal dll.
-         Mako
Bentuknya seperti mangkok, bulat lonjong, pada bagian dasarnya rata dilengkapi dengan lingkaran timbul sebagai dudukan dan pada bagian samping dengan tangkai pegangan, digunakan sebagai tempat minum dll.
Dalam perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman para pengrajin seni tembikar telah membuat berbagai bentuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini seperti; asbak, pot bunga, guci hiasan dll.
h). Lagu Daerah Flores
Daerah Ende/Lio
·         KAU MAKO
Kau Mako, yang artinya Apalah Daya. Lagu keluhan keluhan seorang ibu/bapak atas pergi anak-anaknya sehingga ditinggal seorang diri. Sifatnya memberi nasihat kepada anak-anak yang ingin meninggalkan orang tunya.
·         HARO E
Haro E, yang artinya Hatimu Gelisah. Lagu uyang menggambarkan kehelisahaan seorang gadis, yang merindukan kekasih hati, sehingga makan minum tak disentuhnya
·         DEKU DU DELE
      Deku Du Dele, yang artinya Gadis Mau Mengangis. Suatu lagu yang menggambarkan percintaan, diman si pemuda menyuruh kekasihnya menungggu di suatu tempat yang sudah disepakati.
·         AME SIMO NGAWU
Ame Simo Ngawu, yang artinya Bapak Sudah Terima Belis (mas kawin). Suatu lagui adat yang menggambarkan permintaan seorang gadis kepada bapaknya, supaya jangan terima belis (mas kawin) dulu, karena dia (gadis) belum ingin kawin.
·         WETA SAGA PANDA
Weta Saga Panda, yang artinya Si Gadis Bertubuh Pendek. Suatu lagu ejekan dari pemuda terhadap gadis. Lagu ini merupakan lagu jenaka.
·         DESO KAMI E
Deso Kami E, yang artinya Sedih Sekali. Lagu ratap yang menceritakan kematian yang tragis dari seorang ayah yang terbunuh dalam perjalanan.
Daerah Manggarai
·         JITA MBEWU
Jita Mbewu, yang artinya Bita Rimbun (nama pohon). Suatu lagu kiasan yang menggambarkan wajah seorang gadis yang ditutupi rambut yang lebat sehingga tidak kelihatan wajahnya.Benggong, yang artinya Bergembira. Suatu lagu percintaan yang menggambarkan perjumpaan . antara pemuda dan pemudi waktu bersama-sama menimba air.
·         AKU REHANG
Aku Rehang, yang artinya Aku mengangis. Lagu ini menggambarkan kesedihan seseorang yang selalu mengalami kesusahan. Sifatnya ialah kiasan dimana menggambarkan segala usaha yang terhalang.
·         SILI ABAR MANGA WELA
      Sili Abar Manga Wela, yang artinya Bunga di Tebing. Lagu ini mengandung arti kiasan yang mengammbarkanb seorang gadis di antara bahaya.
·         PALE ETA GOLO LAUNE
      Pale Eta Golo Laune, yang artinya Seorang Pemburu. Lagu ini mengisahkan kehidupan seorang pemburu.
Daerah Ngada
·         KAUKO SOLO
Kauko Solo, yang artinya Sudah Benar. Lahu kiasan memuja kecantikan seorang gadis, kemana saja ia pergi akan selalu muncul kecantikannya.
·         YALO
Yalo, yang artinya Anak Yatim. Lagu ini menggambarkan penderitaan dan kemelaratan anak yatim piatu dalam hidupnya. Tujuannya ialah meminta belas kasihan orang lain.
·         BENGU RELE KAJU
Bengu Rele Kaju, yang artinya Burung di Atas Pohon. Suatu lagu kiasan yang menggambarkan kegembiraan seorang gadis/pemuda. Sifatnya gembira, yang biasanya dinyanyikan dalam suasana gembira.
·         O INE MORE ATE
O Ine More Ate, yang artinya O Mama yang Baik. Lagu ratap yang menggambarkan kesedihan seorang anak piatu yang ditinggalkan ibunya.
 Daerah Flores Timur
·         FAIK LALI
Faik Lali, yang berarti Aku Juga. Lagu ini menggambaarkan percakapan diantara orang-orang desa yang berkumpul menunggu giliran menimba air. Sifatnya ialah mengandung permintaan dalam memperoleh giliran.
·         OLE LOLO
Ole Lolo, yang berarti Melarat Tengah Berlayar. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang sedang berlayar dengan perahuperahu layar. Sifatnya mengeluh nasib melarat (keluhan).
·         REMA PIA
Rema Pia, yang artinya Tengah Malam di Rantau. Lagu ini menggambarkan kesepian seorang perantau jauh dari sanak saudara dan merupakan lagu nasihat bagi orang-orang yang ingin merantau.
·         BALE NAGI
Bale Nagi, yang artinya Pulang ke Nagi (kampung halaman). Lagu ini menyatakan kegembiraan seorang pelaut yang pulang ke kampung halaman.
·         OA ELE LE
Oa Ele le, yang Buat senag Hati. Suatu lagu jenaka yang dipakai oleh pemuda-pemudi untuk menggambarkan hati, tanpa tujuan buruk.
·         PATEN INA-AMA
Peten Ina-Ima, yang artinya Terkenang Ibu Ayah. Suatu lagu kenangan akan orang tua oleh anak-anak. Suatu lagu yang sifatnya nasihat di antara anak-anak.
i). Kain Tenun
Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Flores merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Flores secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
a)      Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
b)      Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
c)      Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
d)     Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
e)      Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
f)       Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
g)      Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
h)      Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu  akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.
i)        Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Flores, tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Flores terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya. 
Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Flores dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni :
Tenun Ikat
Disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.
Tenun Lotis/ Sotis atau Songket
Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Flores terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Flores telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. 
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari kedua jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
-         Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata di semua daerah kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada.
-         Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Lembata, Sikka, Ngada, dan Manggarai
Inilah khasanah budaya yang terlihat dari beragam motif dan ragam hias kain tenun ikat yang dihasilkan wanita di bumi Flobamora ini. Dari motif yang super sampai yang kecil, memperlihatkan bagaimana kehebatan wanita di tanah kami dalam menciptakan sehelai kain tenun ikat.
Puluhan bahkan ratusan jenis motif dan ragam hias yang dihasilkan oleh wanita di bumi Flobamora ini dapatlah dibagi ke dalam tiga jenis kain tenun ikat yaitu
1.      Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan arti.
2.      Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan tidak mempunya arti.
3.      Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya tidak ada nama dan tidak ada arti.
Warna yang ada merupakan hasil racikan dari dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan ada di bumi Flobamora. Diramu dengan sangat hati-hati, doa dan mantra dibacakan agar kain tenun ikat yang dihasilkan menjadi kain yang bermutu tinggi.
Proses pewarnaan dijalani dalam waktu yang cukup lama agar sari warna benar-benar meresap pada urat benang. Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan pewarnaan yaitu Mengkudu, Tarum, Zopha, Kemiri, ndongu, buah usuk dan lain-lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari : merah, yang dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum.
Pembuatan seni tenun ikat Ende Lio hanya dilakukan oleh para ibu/ gadis dari pesisir pantai selatan kabupaten Ende, sedangkan bagian tengah/ utara tidak mengerjakannya karena pore jaji, bila dilanggar akan terjadi bencana alam.
Dalam perjanjian yaitu masyarakat pesisir selatan mengerjakan bahan tenun ikat, ditukar dengan bahan makanan yang dihasilkan oleh masyarakat bagian tengah dan utara Kabupaten Ende. Demikian pula bahan baku seperti kapas dan bahan pewarna dijual atau ditukar dengan bahan sawo engge pake pela nggubhu nggai.
-         Proses Kapas Menjadi Benang
Proses awal biji kapas dibersihkan dengan alat Ola Ngeu, lalu dibersihkan dengan woร–/ busur kecil. untuk menjadikan elo/ gulungan kapas yang siap dipintal/ nggoru menjadi benang dengan alat jata dan ladu. Benang yang telah dipintal digulung dengan alat meka untuk menjadi gulungan benang atau lelu meka, lalu digulung dengan ola woe menjadi benang untuk goรค.
-         Pete tege/ ikat motif
Gulungan benang ditalang pada alat Dao Goa untuk ——- dengan jumlah gami tertentu, sesuai dengan motif yang direncanakan. Bahan tenun ikat setelah Goa gami menjadi lembaran benang, dipindahkan pada Dao Meka untuk diikat motifnya dengan pucuk daun boro/ gebak; pucuk kelapa, tali rafia dll.Bagian-bagian tenun ikat yaitu: Vertikal:
-         One/ motif utama
-         Eko
-         Foko
-         Bue
-         Mettu
-         Mengge
-         Tekka
Horisontal:
-         Upu
-         Teo Timbu
-         Lere
-         One/ singgi
-         Bharaka
-         Engo
-         Lombo
Motif utama adalah merupakan nama dari jenis dan macamnyasarung lawo. Rawo, terdapat pada bagian tengah dan adapula terdapat pada setiap lembaran dari sarung. Motif penghias adalah motif yang mendampingi motif utama yang disebut singi atau geto / gero. Menurut jenis dan macamnya motif serta asal lokasi pembuatan tenun ikat Kabupaten Ende dapat kita bagikan menjadi 2 (dua) ethnik yaitu:
1.      Ethnik Ende: Rawo Nggaja Sanggetu – Rawo Nggaja Manu – Rawo Jara Nggaja – Rawo Jara – Rawo Pea – Rawo Soke Wunu Karara – Soke Bere Kaze – Rawo Rote – Rawo Mata – Rawo One Mesa – Rawo Rombo – Rawo Mangga/ Bhuja/ Ndala – Rawo Ngera/ gero dll
2.      Ethnik Lio: Lawo Nepa Mite/ Te’a – Lawo Pundi – Lawo Mogha – Lawo Kelimara – Lawo mata sinde – Lawo Koko Bheto – Lawo Luka – Lawo Gami teraesa – Lawo Gelo dll.
Selain lawo/ rawo ada pula tenun ikat berbentuk selendang/ lembaran yaitu Semba – Senai – Lete – Sinde – lembaran kontemporer seperti ana deo, inepare dan bahan jadi lainnya.
j). Alat Musik Masyarakat Flores


1.      FOY DOA
Kabupaten Ngada Flores yang beribukota Bajawa mempunyai banyak ragam kesenian daerah. antara lain musik Foy Doa. Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya.
Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih. Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. 
Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan, sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.

2.      FOY PAY
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.

3.      NUREN
Alat musik ini terdapat di Solor Barat. Orang Talibura di Sikka Timur menyebut alat musik ini dengan nama Sason, apabula disebut seara puitis menjadi Sason Nuren. Secara etimologi Sason berarti jantan, dan Nuren berarti perempuan. Sason Nuren merupakan dua buha suling yang dimainkan oleh seorang sendirian, merupakan sebutan keramat, sakral, kesayangan, alat hiburan.
Menurut cerita tua, seorang tokoh legendaris Solor Barat konon berkepala dua sekaligus memiliki rmulut dua. Orang Solor Barat menyebutnya dengan nama Edoreo sedangkan di bagian tengah Solor Barat menyebutnya dengan nama Labaama Kaha.
Konon menurut erita ia pernah hidup 3-4 abad yang lalu. Konon menurut erita pula ia mampu meminkan Sason Nuren sekaligus, sehingga apabila sedang maminkan lat musik ini orang mengira ada dua pribadi yang sedang memainkan Sason Nuren. Menurut keperayaan penduduk setempat Sason Nuren merupakan suara para peri (nitun).

4.      SUNDING TONGKENG
Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala.
Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng.
Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantsngan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita

5.      PRERE
Alat bunyi-bunyian dari Manggarai ini terbuat dari seruas bamboo keil sekeil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruaw bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya.
Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.


6.      SULING
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrument suling bambu. Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass.
Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada berbentuk besar. Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf.
Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi, dan dan bass bernada do.
Musik suling merupakan salah satu kesenian daerah yang terdapat di Kabupaten Ngada
Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.

7.      GAMBUS
Alat musik diperkirakan masuk ke Flores Timur sejak masuknya agama Islam sekitar abad 15. Alat musik ini terbuat dari kayu, kulit hewan, senar, dan paku halus. Alat musik petik ini merupakan instrumen berdawai ganda yaitu, setiap nada berdawai dua/double snar. Dawai pertama bernada do, dawai kedua bernada sol. Dan dawai ketiga bernada re, atau dawai pertama bernada sol, dawai kedua bernada re, dan dawai ketiga bernada la. Fungsi alat musik ini untuk mengiringi lagu-lagu padang pasir.

8.      SOWITO
Alat musik pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bamboo yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai.
Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.

9.      REBA
Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah.
Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah.
Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.

10.  MENDUT
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi. Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m.
Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengn batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.

11.  KETADU MARA
Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.











12.  KERONTANG
Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini.
Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.

13.  TATABUANG
Di Tanalein alat musik ini disebut Leto, di Desa Lamanole Flores Timur disebut Tatabuang. Rupanya mirip dengan nama Totobuang alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku.
Sebutan Tatabuang hanya terdapat di Lemonale, dan di desa ini banyak terdapat orang suku Kera yang menyebut dalam sejarah pelayaran menggunakan perahu kora-kora. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka kek kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.
Di Lemonale permainan Tatabuang melalui dua cara, yaitu digantung seperti Leto dan yang lain diletakkan di atas pangkuan.
Tatabuang dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Tatabuang yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.

14.  THOBO
Alat musik tumbuk dari bamboo ini berasal Kabupaten Ngada. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.

15.  GONG
Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya.
Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain antara lain jumlah gong, ukurannya, cara memainkannya, serta penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.
Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama, untuk daerah flores antara lain:
-        Gong Ngada
Gong Ngada terdiri dari lima buah dan umumnya berukuran kecil. Nama-nama gong : Doa yaitu dua buah gong yang dimainkan seara silih berganti. Dhere yaitu terdiri dari satu gong. Uto-uto yang juga hanya satu gong. Wela yaitu gong yang paling tingi suaranya.
-        Gong Dawa
Gong yang digunakan umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong : Tetun yaitu dua buah gong keil, namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang dimainkan dengan tidak terlalu cepat.

1)       Musik Tanah
Musik Tanah dilakukan dengan cara menyentakkan kaki pada tanah sebagai ritme seperti dalam Gawi / Naro atau Todo Pare
2)       Musik Batu
Batu Pena Jawa sebagai ritme untuk mengiringi lagu O Lea di saat titi jagung.
3)       Alat musik tradisional lainnya

1.      NGGERI NGGO
Terbuat dari satu ruas bambu betung dan musik ini digunakan saat acara Nainuwa / sunatan.

2.      NGGO DHENGI
Disebut juga Nggo Bhonga yaitu terbuat dari potongan kayu Wae atau Denu terdiri dari tujuh potong kayu diikat pada untaian tali. Musik ini dimainkan saat senggang di pondok ladang / kebun dan juga sebagai musik pengiring tarian tradisional.

3.      GAKU
Alat musik terbuat dari bambu. Alat musik ini digunakan pada acara Dowe dera dan sebagai alat bunyi pada Ele seda dan juga sebagai alat pengusir hama / burung di sawah / ladang.

4.      SATO
Alat musik gesek, terdiri dari buah bila atau batok kelapa, dipasang dengan gagang seperti biola serta dilengkapi dengan satu dawai / senar yang terbuat dari serat daun Lema Mori / lidah buaya hutan dan Nana Koja / getah pohon koja,. Alat geseknya dibuat seperti busur hanya ukurannya kecil dan talinya dibuat seperti dawai / senar.

5.      NGGO LAMBA/WANI
Dibuat dari batang kayu nangka / kelapa yang dilubangkan, pada bagian tengah, dasar lubang dipasang dengan bilah bambu dan seekor anak ayam dan ditutup dengan kulit sapi. Adapula lamba / wani terbuat dari kulit manusia seperti di Wologai-Detusoko dengan alat pemukul terbuat dari Elo ki / ilalang. Lamba / wani pada umumnya terdiri dar dua macam yaitu Lamba Ine / Induk dan Lamba Ana /anak. Lamba / Wani Ana ukuran lebih kecil dari Lmba / Wani Ine.-Nggo : alat musik Gong / Nggo terbuat dari logam kuningan-tembaga-besi atau bahan logam lainnya, bentuknya bulat, pada bagian tengah dengan bonggolan. Nggo terdiri dari tiga jenis yaitu:
-         Nggo Dhengi Dho
-         Nggo Senawa
-         Nggo Bemu / bass
-         Diri : musik pelengkap sebagai ritme pada nggo lamba / wani. Alat ini dibuat dari sepotong
logam atau bambu pecah / Gaku.

6.FEKO/SULING
Alat musik tiup terbuat dari wulu atau bela, sejenis bambu kecil dan tipis. Feko terdiri dari beberapa jenis yaitu :
-         Feko Nangi : ditiup pada saat tengah malam dengan mengalunkan nada-nada ratap dan cara meniupnya seperti rekorder.
-         Feko Bu : ditiup dengan nada-nada improvisasi solis, diiringi dengan beberapa gendang dan jenis suling ini disebut juga suling para gembala.
-         Feko Redho : jenis suling ini ditiup secara duet atau trio dengan harmonis pada nada-nada lagu, biasa digunakan untuk arak-arakan pengantin atau acara lainnya.
-         Feko Ria : jenis suling ini ditiup secara kelompok dalam paduan nada secara harmonis dalam irama mars atau irama lainnya pada acara pernikahan atau acara resmi lainnya.
-         Feko Pupu : suling ini bentuknya agak unik seperti alat pompa dan cara meniupnya dengan menggeser bambu untuk menghasilkan nada bass.

7.GENDA/ALBANA GENDA/ALBANA
Terbuat dari pangkal batang kelapa atau kayu dan kulit kambing. Bentuknya setengah bulatan seperti periuk / podo pada bagian permukaannya. Dalam komposisinya ada tiga jenis dengan jumlah lima buah Genda / albana yaitu :
-         Genda Redhu, ukuran kecil sebanyak dua buah untuk improvisasi
-         Genda Wasa, ukuran sedang sebanyak dua buah untuk ritme
-         Genda Jedhu, ukuran besar sebanyak satu buah untuk bass Musik Genda /Albana biasanya dipadukan dengan suling / Feko atau lagu-lagu untuk mengiringi tarian terutama tarian Wanda Pau dalam suatu acara pernikahan / sunatan dan acara lainnya.

k). Seni Sastra
Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seni sastra ini khususnya terdapat pada masyarakat ende mempunyai dua etnik yaitu Ende dan Lio. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek /logatnya, sehingga dari segi bahasanya suku Ende disebut ata jaรถ dan suku Lio disebut ata ina. Seni sastra di masyarakat Ende-Lio sebagian besar menyangkut penghormatan kepada Sang Khalik dan pelestarian alam.
Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya :
-         Sua: Ungkapan kata-kata adat yang mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda tersebut bila digunakan sebagai sarana
-         Sua Sasa: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat kutukan atau membalas / mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
-         Sua Somba: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar menjalankan sesuatu kegiatan tidak mendapat hambatan dari perbuatan manusia maupun alam.
-         Sua Sola: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan / usaha memperoleh hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.
-         Bhea: Ungkapan kata-kata adat merupakan syair kebanggaan dari suku suku / kaum keluarga secara turun-temurun diucapkan pada saat upacara seremonial adat dan juga awal dari tarian Woge.
-         Nijo: Ungkapan kata-kata adat / doa dengan kata kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa Mali / Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ruรผ atau penyakit lainnya.
-         Nunga Nange: Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite,sage,legenda,dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
-         Lota: Membaca tulisan naskah / syair pada daun lontar / wunu keli dalam bahasa dan tulisan sansekerta. Hal ini merupakan suatu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan budaya Jawa / luar yang telah menjadi akar budaya Ende yang dipertahankan secara turun–temurun hingga kini.
-         Sodha: Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan dengan acara pesta adat yang diperuntukkan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk. Sodho Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pesodha melainkan hanya orang-orang tertentu.
-         Doja: Penyanyi menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
-         Jenda: Dinyanyikan secara spontan / tanpa teks oleh seseorang atu dua orang secara bergantian dengan syair Pele Nekรซ seperti berbalas pantun pada acara pesta seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran.
-         Woi Nada: ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda mudi yang menyedihkan dalam ceritra rakyat Ende Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar unuk menelusuri penyebab sakit/ penyakit.
-         Peo OroPeo Oro: yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional oleh peo/solo dan di jawab oleh koor/oro. Peo oro ini sangat kaya, karena untuk mengatasi sesuau pekerjaan yang berat menjadi ringan seperti:
-         Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan rumah adat wau barang berat lainnya degan cara menaruh bersama-sama
-         O Lea: Lagu titi jagung.
-         Rongi: Memuka lahan atau kebun
-         Dowe Dera: Menanam tananam
-         Debu Dera: Menetas padi
-         Dll.
-         Soka ke / Lai Lowo: Syair lagu untuk menina bobokan anak dan lagunya hampir sama dengan sodha, hanya syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka ke ini juga dipakai dlam acara Gawi yang tidak resmi disebut Sodha Lai Lowo.
-         Ndeo : Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik secara seius maupun bersifat jenaka / menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-Lio dalam rekaman audio visual berbentuk kaset / VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para seniman / seniwati kabupaten Ende.
l). Seni Anyam
Bahan-bahan anyaman yang sering digunakan yaitu kulit bambu muda, wunu re’a/ daun pandan hutan; wunu koli/ daun lontar; kulit bhoka ino; Ngidho; Ua; Taga; Tali eko. Bahan tersebut diatas diolah menurut kebutuhan masing-masing jenis anyaman agar lancar dalam proses pembuatan dan awet dalam penggunaannya. Adapun produk hasil anyaman diantaranya yaitu:
a.       Mbola Mbola, terdiri dari tiga jenis:
-       Mbolarombo
Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio.
-       MbolaGata
Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki.
-         Nora
Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll.
b.       Kadhengga
Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunaakn sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Puฯ‹ – weni – wuฯ‹ atau kasar – halus – bubuk.
c.       Kidhe
Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat. Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.
d.      Kadho
Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.
e.       Wati-Wati
dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dll. Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dll.
f.        Kopa
Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu – luka – lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.
g.       Mbeka Weti
Tempat sirih pinang/ kapur yang dianyam dari daun lontar dengan bentuk empat persegi, dibuat dari 2 susun dan bagian dalam dibuat 2 laci untuk menyimpan uang, pe’a bako dll.
h.       Mbeka/ Mbosa
Dianyam dari daun lontar, bentuknya seperti mbola gata hanya agak lonjong, dilengkapi dengan tali gantungan. Jenis anyaman ini disebut juga mbola doko.
i.         Rembi
Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.
j.         Supa
Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.
k.       Ripe/Nepe
Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suรคnga, uang dll.
l.         Teรซ/Tikar
Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keรถ, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teรซ Ndori dengan pinggir kain merah, Teรซ Reka. Teรซ Roga biasa membuat khusus tikar jemuran. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati.
m.     Lรชpo
Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.
n.       Kiko
Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.
o.       Raga
Terbuat dari kulit bambu dengan dasar empat sudut seperti mbola, dilengkapi dengan empat tali gantungan untuk tempat ikan dll.
p.       Bela Raga
Bela terbuat dari anyaman rotan ua/taga untuk digunakan sebagai sarana yaitu wedhi raga.
q.       Sesa dan Notu Sesa
Dianyam dari bhoka, sedangkan notu dianyam dari kulit bambu, digunakan sebagai alat penangkap ikan, udang dan binatang air lainnya.
r.        Wuwu
Keranjang besar berbentuk segi empat, dianyam dari bambu dilengkapi dengan pintu yang tidak dapat keluar, digunakan sebagai alat penangkap ikan laut.
s.        Ola Bao
Ikat pinggang besar yang dianyam dari tali eko atau jenis tali lainnya digunakan sebagai ikat sarung luka/ ragi sewi lowe pada upacara adat dan acara resmi lainnya.
t.        Rabha
Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.
u.       Kata
Keranjang yang dianyam dari daun kelapa, dilengkapi dengan tali gantung pikulan, sebagai tempat untuk mengisi hasil ladang, ayam dll. Ada beberapa jenis keranjang yaitu kata mapa, kata kowe, kata rabha, kata manu, kata rembi dll.

2.       Makanan Khas
v  Kare Rajungan
Rajungan yang bernama latin Portunus Pelagicus, merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai sumber pangan dengan harga yang cukup mahal. Rajungan merupakan kepiting yang memiliki habitat alami hanya di laut. Rajungan juga memiliki beberapa keunggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa keunggulan, pemanfaatan, dan potensi rajungan.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Kandugan karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1. Rata-rata per 100 gram daging kepiting dan rajungan berturut-turut sebesar 14,1 gram, 210 mg, 1,1 mg, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
v  Ayam Bumbu Rendatapa
Ayam Bumbu Rendatapa adalah makanan khas Ende, Flores. Cara membuatnya, ayam dimasukan kedalam tumisan berbagai macam bumbu dapur, kemudian ditambah dengan santan encer. Setelah ayam setengah matang kemudian ditambahkan santan kental. Perpaduan ini lah yang kemudian terkenal dengan sebutan Ayam Bumbu Rendatapa.
v  Ayam Bakar Ende

Sementara Ayam Bakar Ende Flores juga masih termasuk masakan khas Ende, Flores. Proses pembuatannya sama dengan Ayam Bumbu Rendatapa tapi kemudian ayam dibakar. Jadi Ayam Bakar Ende Flores adalah Ayam Bumbu Rendatapa yang dibakar.

v  Ikan Bakar Ende Flores
Ikan Bakar Ende Flores adalah masakan khas dari Ende Flores yang menggunakan dua macam bumbu dalam pembuatannya. Ikan yang digunakan untuk membuat masakan ini adalah ikan kue. Setelah ikan dibersihkan, ikan direndam dengan bumbu pertamanya yaitu bawang putih, garam, air jeruk nipis, dan mentega. Setelah itu ikan hasil rendaman dibakar dengan menggunakan daun pisang sampai ikan sudah terlihat garing. Setelah itu ikan diangkat dan dibalur dengan bumbu rendata’pa, bumbu khas Flores, kemudian dibakar kembali. Pembakaran dengan dua bumbu ini membuat rasa Ikan menjadi sangat nikmat dan menggoda selera. Menu ini disajikan dengan selada, labu, acar, dan ketimun yang membuat ikan terasa luar biasa.
v  Ikan Kuah Belimbing
Ikan Kuah Belimbing adalah masakan khas Ende Flores dengan bahan dasar Ikan Kakap Merah dan belimbing sayur. Pada proses pembuatannya ikan direndam dahulu dengan menggunakan garam, jeruk nipis, dan bawang putih sehingga mematikan bau amis dan anyirnya. Setelah itu ikan direbus bersama dengan air yang telah ditaruh dengan berbagai macam bumbu dapur dan belimbing sayur. Rasa yang dihasilkan dari Ikan Kakap dan belimbing ini adalah sedikit asam dan pedas, yang pastinya enak dan segar.
v  Roti Kompiang
Salah satu makanan khas Flores adalah roti kompiang, yaitu roti padat yang diberi wijen.
v  Sayur Daun Paku
Sayur daun paku ini rasanya segar dan agak pahit.
v  Minuman Sopi yang beralkohol.
v  Kopi
Orang Manggarai sangat suka minum kopi. Setiap kali bertamu, Anda akan disuguhi kopi buatan sendiri yang rasanya sangat mantap. Bahkan, untuk orang Manggarai ada acara minum kopi sebelum tidur.

J.      Upacara Adat
* Upacara Perkawinan
a)      Wanita dan Perkawinan di Fores Timur
Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh.  Jenis perkawinan yang sampai saat ini masih dilaksakan ialah:
·         Perkawinan biasa atau perkawinan Gete daha/pana gete. Perkawinan didahului dengan peminangan resmi oleh klen penerima wanita terhadap klen pemberi wanita dengan urutan-urutan tata cara menurut adat.
·         Perkawinan Bote kebarek, di Adonara ialah Lakang yaitu perkawinan meminang anak dari kecil (dijodohkan sebagai istri rumah/bandingkan dengan di Alor) jadi wanita pada usia 6 tahun dihantar kerumah laki-laki untuk dipelihara.
·         Kawin lari karena tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Sang wanita memutuskan untuk lari meninggalkan rumah orang tua, atau gadis atau lari kerumah laki-laki, kemudian urus perkawinannya. Jika ini terjadi, biasanya klen penerima wanita harus menambah nilai tutup malu atas kejadian itu kepada keluarga wanita.
·         Loa wae menaate. Perkawinan diadakan karena wanita telah hamil sebelum urusan selesai. Jika terjadi tetap didahului dengan pinangan, belis dibayar juga satuan nilai tutup malu atas kejadian itu.
·         Liwu/Dopo keropong cara untuk menghantar pria ke rumah wanita, ini terjadi pada perkawinan Lela di Adonara, dimana kawin lebih dahulu baru kemudian baru bayar belisnya. Perkawinan cara ini sering dibayar kepada kerabat sendiri/saling utang-piutang dalam klen.
·         Liwu weki atau Dekip kenube atau lelaki serobot kerumah gadis, sehingga dengan cara agak mendesak orang tua wanita menyerahkan anak gadisnya dalam tangan lelaki. Cara ini juga terjadi di Sikka
·         Kawin Beneng, dengan menawarkan anak gadis melalui usaha memperkenalkannya ke desa-desa yang jauh agar mendapatkan jodoh, dengan demikian orang tua dapat memperoleh belis yang wajar.
·         Kawin Bukang, bentuk perkawinan levirat, berlaku anggapan bahwa sang istri setelah perkawinannya menjadi milik suku, sehingga kalau suami meninggal istri dapat dinikahi oleh saudara lelaki kandung atau juga dalam suku yang sama dengan suami.
·         Perkawinan Wua gelu, merupakan perkawinan yang dilakukan timbal balik antara dua klen. Klen yang satu ditetapkan menjadi klen pemberi wanita dan klen yang lain menjadi klen penerima wanita. Jenis perkawinan ini sangat ekonomis, karena mas kawin berputar dalam klen itu.
·         Cara Bluwo, perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria beristri dengan seorang  gadis, ini terjadi secara terpaksa karena wanita sudah hamil supaya jelas bapak dari anak yang dikandungnya.

b)      Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya. Ungkapannya antara lain :
Dua naha nora ling, nora weling
Loning dua utang ling labu weling
Dadi ata lai naha letto wotter

Artinya:
Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga,
sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga,
sehingga setiap lelaki harus membayar.

Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe

Artinya :
Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang.
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.
Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:
·         Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari). Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).
·         Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:
Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri
lai, dan suami
lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga
gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkapan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor. Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:
1.      Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.
2.      A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga
3.      Di pihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta
4.      Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin. 
5.      Tung/tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan
6.      Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin. 
c)      Perkawinan Adat Masyarakat Ende
Proses perkawinan pada masyarakat Ende ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1.      Mbane ale, proses melamar oleh seorang pandai bicara dari utusan keluarga laki-laki.
2.      Ruti nata, proses peminangan secara resmi oleh keluarga laki-laki di rumah calon mempelai wanita. Pada acara ini keluarga laki-laki  membawa ruu tau jaga tau rate, oleh orang Lio umumnya menyebutkan sebagai bagian belis pertama.
3.      Tu ngawu, mengantar belis yang telah disepakati bersama ke rumah keluarga calon mempelai wanita. 
4.      Ka are denge, pria memasuki memasuki rumah orang tua perempuan dihantar oleh keluarga laki-laki untuk pengaturan perkawinannya. 
5.      Pernikahan dimulai dengan antaran yaitu:
·         Weli weki, pembayaran untuk harga diri calon pengantin perempuan berupa lima Liwut yaitu (gumpalan) mas, dan lima ekor hewan besar.
·         Buku berupa balas jasa atau buku taga merupakan  pembayaran untuk mama kandung perempuan berupa seliwu seeko, selimut mas dan seekor binatang besar.
·         Buku ame kao, pembayaran untuk bapak calon pengantin perempuan berupa mas dan seekor binatang besar. 
·         Bayar belis untuk ata godo orang yang dulu membayar belis mamanya.
·         Belis untuk puu kamu atau om kandung berupa hewan besar.
·         Ame ona dan ame loo yaitu belis untuk bapak besar dan bapak kecil. 
·         Terkhir belis untuk nara saudara kandung gadis disebut jara saka tumba sau dalam Binatang dan uang.
d)     Perkawinan Adat Masyarakat Ngada
Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa, dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan tanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu-satu putri tunggal. 
Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi weti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya membawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada saat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya lamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku mebhu tana tigi, idi tua manu. Sistim perkawinannya antara lain:
·         Kawin masuk
Kawin masuk, Perkawinan ini dapat dikatakan menganut prinsip matrilinial.
dengan alasan utama anak wanita satu-satunya sebagai pewaris kekayaan
keluarga. Kawin masuk disebut dora rai manu atau kawo api maata pengura-
pan dengan dara ayam. Ada anggapan sementara orang bahwa kawin masuk
sebenarnya laki-laki diperbudak oleh perempuan.
·         Kawin keluar
Kawin keluar, jenis ini dinamai weli (belis) sehingga hak perempuan berpindah
ke rumah suami. Hal ini terjadi di Nagekeo, Riung. Untuk kesatuan adapt Ngada
hanya di dua desa kecil yaitu Feo dan Soa. Pada sistim ini muncul juga bentuk
balas jasa untuk keluarga wanita.
·         Perkawinan adat
Kawin adat, adalah suatu bentuk perkawinan yang bias disebut terang kampong.
Perkawinan ini dinyatakan syah apabila disertai acara zera (peresmian adat).
Yang dalam adat Nagekeo ialah beo sao atau teo tada.
·         Perkawian berdasarkan atas kasta
Perkawian berdasarkan pelapisan social, jenis perkawinan semacam ini terlarang
sekali seorang gadis dari tingkat atau golongan gae (golongan bangsawan) kawin
dengan laki-laki dari golongan yang bukan gae. Sebaliknya dari pemuda golongan gae dapat menikah dengan wanita dari golongan yang bukan gae, tetapi keturunan dari perkwinan ini tidak tergolong dalam kedudukan social dari sang ayah, melain kan lebih rendah dari sang ayah. Kejadian perkawianan laki-laki kasta bawah de ngan wanita kasta atas disebut laa sala page leko, sehingga harus dihukum dan di usir keluar kampung.
·         Perkawinan atas dasar keturunan
Perkawinan menurut keturunan, disebut perkawinan yang berdasarkan sepupu (anak om dan tante).
e)      Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada si keluarga pemuda sebagai imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara keluarga yang seperti itu, ialah antara keluarga pihak pemuda sebagai penerima gadis (anak wina) dan pihak pemuda sebagai pemberi gadis(anak rona) adalah biasanya amat formil.
Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sring juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pada perkawinan  tungku biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.
Suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko dilakukan dengan pengertian antar kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbutan pura-pura untuk menutup rasa malu atau rasa canggung  bagi keluarga yang tidak mampu membayar paca tinggi. Walaupun demikian sampai sekarang masih ada juga perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan pura-pura atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena pihak si gadis tidak menyetuju dengan perkawinannya. Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak si gadis sudah reda dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan sekalian menerima permintaan lamaran dari pihak keluarga si pemuda. Walaupun pada perundingan yang terjadi pihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta  paca yang sangat tinggi, dalam hal iti toh tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemuda toh sudah hidup di antara keluarga si pemuda.
Seorang pemuda yang tidak mampu membayar mas kawin, sering juga melakukan cara lain untuk tetap bisa mengawini gadis idamannya, ialah dengan cara bekerja pada orang tua gadis untuk suatu jangka waktu tertentu. Bentuk perkawinan ini di Manggarai disebut perkawinan duluk.
Perkawinan adat lain yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal. Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca yang juga tinggi.
Adat menetap sesudah niakah Manggarai pada khususnya dan di flores pada umumnya, adalah virilokal. Adapun poligini merupakan suatu gejala yang jarang di flores, apalagi sekarang, karena suatu persentase besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Juga pada khususnya di Manggarai poligini dulu hanya dilakukan oleh beberapa keluarga orang bangsawan, tetapi jarang oleh penduduk pada umumnya.
Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1)      Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang telah membesarkannya.
2)      Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.
3)      Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak perempuan dari om
4)      Perkawian tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hu bungan dara.
5)      Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.
Proses perkawinan bagi orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:
1)      Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis. Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.
2)      Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.
3)      Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.
4)      Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.
* Upacara Kematian
Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari dunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita. Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur. Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran.
Upacara waktu penguburan, tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur. Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran dengan membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
* Upacara Pembangunan Rumah
Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari sebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara Maalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atau tidaknya pembangunan rumah diteruskan.
Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak. Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".
* Upacara Penutupan Bulan Maria
Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yang dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja. Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, seperti Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagai simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesi seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.
Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatan terakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiap Oktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria oleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut memang dikhususkan untuk menghormati Maria.
* Upacara Iyegerek
Lamalera, berhadapan dengan Laut Sawu, merupakan jalur migrasi paus. Dari 30 jenis cetacean–nama kolektif paus dan lumba-lumba di Indonesia– 14 spesies di antaranya bermigrasi melewati Sawu, yang memiliki palung. Termasuk di antaranya adalah paus biru dan paus sperm yang langka dan paus orca, yang oleh masyarakat setempat disebut menyebutnya seguni.
Potensi ikan di Laut Sawu memang menjanjikan. Data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut 1999 menyebutkan Sawu memiliki potensi ikan sebanyak 388 metrik ton per tahun. Potensi itu terdiri dari ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, udang, kepiting, dan cumi-cumi.
Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih sperm sebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlah warga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak buah kapal), dan pemilik perahu.
* Upacara Adat di Sampar
Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atas selesainya rumah adat  yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba-laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, di mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan dengan menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.
Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan sekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengena karena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek. Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampil ke gelanggang.
K.    Tempat Wisata
·         Wisata Rohani Kota Reinha
                  Larantuka, sebuah kota yang juga dikenal dengan nama ‘Kota Reinha’ atau ‘Tana Nagi’ merupakan salah satu kota pusat pengembangan agama Katolik di wilayah timur Nusantara, tepatnya di wilayah Kabupaten Flores Timur-NTT. Selama empat abad lebih telah mewarisi tradisi keagamaan melalui peranan kaum awam (non klerus) pada masa silam. Pengembangan agama tersebut tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (confreria), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
·         Danau Kalimutu
      Taman wisata Kelimutu di Ende. Danau tiga-warna, Kelimutu berada di pulau Flores. Warna ketiga danau itu selalu berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Konon itu akibat dari perubahan aktifitas vulkanis yang berpengaruh terhadap warna tumbuhan air semacam ganggang yang hidup disana. Saat ini, danau yang dilukiskan berwarna merah, terlihat berwarna kehitaman. Yang digambarkan berwarna hijau, kini lebih condong ke biru muda, sementara yang digambarkan berwarna biru, masih tetap biru, tapi lebih pekat.
·         Taman wisata 17 Pulau di Riung Ngada
Riung 17 Pulau laksana “Surga Bawah Laut” yang belum terjamah. Kelompok pulau ini terdiri dari pulau-pulau kecil dan pulau karang yang terbentang di depan Teluk Riung. Alam bawah laut dari pulau-pulau ini kaya dengan keanekaragaman hayati. Disamping itu, daerah perbukitan sekitar Riung (Pulau Flores) dihuni oleh biawak raksasa spesifik Riung. Penduduk lokal menamakannya “Mbou”. Bila biawak komodo disebut varanus komodoensis, maka biawak Riung disebut juga sebagai Varanus Riungensis. Pulau kelelawar merupakan salah satu pulau yang terdapat di taman laut 17 pulau ruing.
·         Taman Nasional Komodo
                  Merupakan taman yang sangat luar, dimana didalamnya hidup binatang reptil raksasa yakni Komodo (varanus komosoesis), yang hanya ditemukan di pulau Komodo dan pulau lain sekitarnya. Komodo termasuk binatang reptil yang dilindungi. Kawasan Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar dan masih
banyak pulau-pulau kecil lainnya.

·         Perkampungan tradisional di Ngada
Bena adalah nama sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.
L.     Semana Santa
Pekan Semana Santa merupakan tradisi bagi umat katolik di Larantuka, sebuah kota kecil di ujung pulau Flores Nusa Tenggara Timur ternyata menyimpan sejuta misteri. Ritual religius umat katolik yang terjadi rutin setiap tahun menjelang perayaan Paskah yang menyedot perhatian ribuan peziarah untuk datang ke kota Reinha Rosari Larantuka itu, kini memasuki usia 5 abad pada tanggal 07 oktober mendatang. Prosesi Semana Santa yang dirangkaikan dengan mengarak patung Tuan Menino dan Tuan Ma hingga puncak perayaan paskah itu, masih menyisahkan sejumlah misteri yang hingga kini masih menyisahkan banyak pertanyaan tentang sejarah Tuan Ma.Kami coba mengulas sejarah Tuan Ma dan pekan Semana Santa yang dirangkaikan dengan prosesi Jumad Agung setiap tahun ini.Tradisi keagamaan turun temurun setiap menjelang Paskah yang memasuki usia 500 tahun  itu, tak terlepas dari ritual mengarak Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) yang disertai Tuan Menino (Arca Yesus Kristus, red) mengelilingi kota Larantuka pada hari hari Jumad Agung. Kota Larantuka sejak dulu dijuluki sebagai kota Reinha Rosari yang merupakan tongak sejarah ditemukan patung Tuan Ma pada lima abad lalu. Reinha Rosari adalah terjemahan dari bahasa latin yang berarti Bunda berdukacita, yang merupakan asal mula ditemukannya Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) oleh warga setempat. Reinha Rosari merupakan julukan bagi kota Larantuka, yang terletak diujung timur Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Kota kecil yang berada disepanjang kaki gunung Ile Mandiri itu memiliki sejarah tersendiri karena merupakan kota tua tempat awal penyebaran agama Katolik di wilayah Flores oleh sejumlah misionaris Katolik dari negara Portugis.
Reinha Rosari adalah terjemahan dari bahasa latin yang berarti Bunda berdukacita, yang mana berasal mula ditemukannya Tuan Ma (Patung Bunda Maria, red) oleh warga setempat di pantai kuce tempat dilalui pesiarah setiap tahunnya. Umat katolik larantuka berkeyakinan Patung Tuan Ma dihadiahkan imam Dominikan (rohaniwan katolik, red) asal portugis bagi warga Larantuka yang baru memeluk agama katolik pada abad ke-16. sementara versi lain menurut warga larantuka berketurunan bangsawan mengisahkan, “patung Tuan Ma ditemukan mengapung di pantai kuce oleh warga larantuka yang kemudian menyampaikan berita ini kepada raja yang sedang berkuasa saat itu. Patung ini kemudian diperintahkan raja untuk ditahtakan di puncak gunung Ile Mandiri sebelum diberikan nama. Pasca peristiwa penemuan itu, datanglah misionaris katolik dan melihat patung Tuan Ma yang kemudian memberitahukan kepada raja bahwa Inilah Ibu dari Yesus Kristus yang selama ini diwartakan para misionaris katolik”. Sejak saat itulah, patung ini diberi nama Tuan Ma dari bahasa setempat yang berarti Bunda Maria pada yang kemudian ditahtakan pada Kapela yang hingga kini dijadikan tempat ziarah bagi umat katolik menjelang perayaan Paskah yang dirangkaikan dengan nama Pekan Semana Santa.Dalam pekan ziarah Semana Santa Larantuka, keturunan raja larantuka diberi kesempatan pertama membuka pintu kapela dan mencium Tuan Ma diikuti para Kepala Suku, Mardomu (para pendoa, red) dan para peziarah. Tempat patung Bunda Maria atau Tuan Ma disimpan untuk melantunkan kidung-kidung pujian yang diikuti misa ribuan jemaat dengan berlutut di depan altar sambil menyalakan sebaris lilin. Sebelum memasuki prosesi perarakan patung keliling kota Larantuka pada hari Jumad Agung, pekan semana santa itu diawali sejak hari rabu yang disebut Rabu Trewa atau rabu terbelenggu untuk mengenang Yesus Kristus kala dikhianati Yudas Iskariot dan dibelenggu tentara romawi kemudian diseret mengelilingi kota Nazareth. Pada malam rabu trewa, warga di luar kapel membunyikan berbagai peralatan untuk menggambarkan kegaduhan dengan memukul tutupan kaleng atau menyeret sehelai seng untuk mengenang kegaduhan saat Yesus diarak.
Usai Rabu Trewa, ritual berikutnya adalah perayaan hari kamis putih yang ditandai dengan kegiatan tikam turo atau memasang tiang-tiang tempat lilin sepanjang jalur jalan yang akan dilewati selama prosesi Jumad Agung mengarak patung Tuan Ma dan Arca Yesus keiling kota Larantuka dengan berdoa da melantunkan lagu sedih tanda perkabungan wafatNya Yesus Kristus. Usai kegiatan tikam turo, umat berduyun-duyun menuju Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana (arca Yesus, red) untuk mengikuti upacara Munda Tuan. Munda Tuan merupakan acara memandikan patung Tuan Ma. Saat inilah diyakini warga larantuka, orang tertentu akan diselimuti keharuan ketika mengenakan Opa atau jubah putih perlambang kesucian. Mereka adalah orang-orang pilihan yang mendapat anugerah untuk memandikan patung Tuan Ma. Suatu Ritual kuno dalam ruangan yang telah dijaga kerahasiaann selama 5 abad ini. Tak semua orang bisa mengikuti acara munda tuan, namun hanya sosok yang dianggap bijaksana dan pernah terpilih sebagai pengurus konferia. Merekapun harus bersaksi dibawah sumpah Kristus untuk merahasiakan pengalaman yang dialami sepanjang ritual karena diyakini dapat menemui ajal jika membuka rahasia itu.
Ritual pun terus dilanjutkan pada hari Jumad pagi atau jumad agung mengenang hari kematian Yesus. Ribuan peziarah yang datang dari segala penjuru dunia berkumpul di Kapela Tuan Menino di kota rowido Lingkungan sarotari untuk menggelar misa pertama menyembah Tuan Menino (Arca Yesus, red) yang ditemukan terdampar di pantai berabad silam. Patung yang disemayamkan di sebuah peti mati itu kemudian diarak dengan bhero (perahu, red) khusus yang dikayuh dengan pengayuh tanpa mesin melalui laut dari kapela Tuan Menino ke pantai kuce di pusat kota, tempat ditemukan mengapungnya patung Tuan Ma 5 abad silam. Tak berlebihan, namun kala itu awan menggantung setiap tahunnya di tempat dilaluinya arak-arakan arca Yesus bersama ribuan peziarah yang menggunakan puluhan kapal. Sementara para peziarah yang tidak kebagian kapal, biasanya berjalan kaki dan menggunakan kendaraan melalui jalan daart sepanjang pantai menuju ke pantai kuce yang terus melantunkan doa dan kidung pujian.
Tiba di pantai Kuce, peti Tuan Menino kembali diarak sampai ke armida atau tempat persinggahan patung yesus dan Bunda Maria pada jalur prosesi Jumad Agung. Saat itu ribuan warga terlihat larut dalam berbagai ujud khusus, dengan berjalan menuju kapela Tuan Ma untuk menghantar patung Bunda Maria ke gereja katedral Larantuka. Prosesi Jumad Agung yang mengukuhkan Larantuka sebagai kota Reinha Rosari ini belum selesai. Pada pukul 19.00 waktu setempat, ribuan umat katolik Larantuka dan para peziarah berkumpul di halaman gereja katedral untuk mengarak patung Bunda Maria atau biasa disebut Tuan Ma bersama Arca Yesus keliling kota yang melambangkan perjentian jalan salib yesus dari kelahiran hingga kematian. Suasana hening disaat menyinggahi 8 perhentian untuk mendengarkan ovos atau lagu pilihan bahasa latin. Prosesi mengarak patung Tuan Ma (Bunda Maria, red) dan Tuan Ana (arca Yesus, red) berlangsung hingga sabtu dinihari karena banyaknya peziarah yang mengikuti prosesi ini setiap tahunnya. Kesaksian sejumlah peziarah yang sebelumnya datang dengan ujud khusus, selalu terkabulkan sehingga setiap tahunnya jumlah peziarah meningkat karena selalu datang kembali untuk mengucapkan syukur.
Kota Larantuka biasanya dipadati para peziarah sejak hari selasa yang mulai berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk mengikuti prosesi Semana Santa selama sepekan ini. Para peziarah biasanya ditampung pada rumah-rumah warga setempat, sehingga tak perlu terlalu banyak biaya penginapan untuk para tamu. Warga Larantuka yang masih kental dengan budaya Lamaholot itu dengan ramah menerima semua tamu yang ingin numpang nginap serta memberikan penjelasan seputar informasi kegiatan. Selain itu, para tamu juga biasanya diarahkan untuk mendaftar ke panitia perayaan di gereja Katedral Larantuka untuk memperoleh tanda pengenal dan buku panduan kegiatan. Untuk mengikuti prosesi pekan Semana Santa yang mengarak Tuan Ma dan Tuan Menino keliling kota Larantuka itu tak perlu merabah kocek yang banyak selama berada di kota Larantuka karena kehidupan warga masyarakat yang ramah membuat semua tamu merasa betah.


PENUTUP 
  
Itulah sekian kisah mengenai Flores. Kebudayaan Flores yang unik mulai dari upacara perkawinan sampai prosesi Jumad Agung atau Semana Santa di Larantuka, adalah keanekaragaman serta kekayaan budaya tersendiri bagi bangsa ini.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Presiden Proklamator kita, Presiden Soekarno pernah berkata bahwa: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau istilahnya “JASMERAH”. Sejarah itu termasuk salah satunya adalah menyangkut peninggalan nenek moyang kita yang harus kita pelajari, hayati, maknai, dan tentunya kita lestarikan. Mulailah usaha ini dari hal-hal yang kecil, misalnya menyanyikan lagu daerah, dsb sebagai salah satu bentuk cura minimorum dalam menjaga kebudayaan bangsa menuju kemuliaan bangsa ini.
Semoga coret2an ini berguna bagi semua pihak dan bisa menjadi bahan referensi bagi para pembaca yang budiman dalam rangka terus memperkaya khasanah budaya yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Memang semua langkah pelestarian budaya harus dilakukan oleh semua pihak, mulai dari Pemerintah sendiri, masyarakat, pelajar, dan semua orang yang hatinya berisikan cinta bagi pelestarian kebudayaan di negara ini.

ZONA FOTO

alat musik suling
alat musik foy pay

alat musik pere

alat musik foy doa
alat musik ketadu mara

kain tenun setiap kabupaten

kain tenun
makanan khas ayam bumbu rendatapa

makanan khas Ikan Bakar Ende Flores

makanan khas ikan kuah belimbing

pakaian adat ende
pakaian adat ngada
pakaian adat sikka
pakaian adat nagekeo

pakaian adat  manggarai
rumah adat

rumah adat

rumah adat


Upacara Semana Santa

Upacara Semana Santa

Upacara Semana Santa

Upacara Semana Santa


seni anyam bele raga

seni anyam kadhengga

seni anyam kata

seni anyam mbola-mbola

seni anyam tikar

seni anyam wuwu



seni bela diri

seni bela diri

seni tembikar

senjata tradisional sundu
tari gawi

tari ja'i

tari manunggo

tari leke

tari nahang tanang

tari poto wolo

tari sanggu alu

tari toda gu

tari wojo rana

Tempat wisata danau kelimutu

aman

Tempat wisataTaman Laut 17 Pulau Riung

Upacara adat iyegerek





SEKIAN





8 komentar:

  1. bagus dan detail sekali kk, aku suka postinganNya.. terima kasih telah menambah wawasanku tentang NTT..

    BalasHapus
  2. wow,, lengkap sekali, terimakasih infonya ya. ditunggu info terbaru dari Flores

    BalasHapus
  3. K SAYA SALUT DENGAN INFO FLORES YANG BAIK SEKALI TAPI SAYA USUL KALAU DAPAT TAMBAH JUGA DATA TENTANG UPACRA ADAT MENANAM JAGUNG.....TRIMAH KASIH....

    BalasHapus
    Balasan
    1. ok makasih kk atas usulannya.
      Maaf baru balas karena sibuk belakangan ini.

      Siap nanti saya cari referensinya dulu, kebetulan sekarang su di Flores nihh

      Hapus
  4. Makasih atas infonya, sangat membantu sekali untuk tugas sekolah

    BalasHapus
    Balasan
    1. sippp silahkan dinikmati.

      Tapi klo bisa, dicantumkan sumber referensi saat pembuatan tugas sekolahnya hehe

      Hapus
  5. Luar biasa lengkap.
    Sukses terus bang....
    Boleh di share ya ?๐Ÿ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh dishare sambil tetap mencantumkan sumbernya ya ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

      Hapus